Belfast Dublin

Satu jam kemudian saya sampai di Dublin.

Makan siang di situ. Harus mencari tempat parkir dulu. Dua jam Rp 350.000. Padahal mobilnya sedan kecil Ford.

Habis makan saya balik ke Irlandia Utara.

Ini pertama kali saya ke Dublin. Ups, ini sebenarnya yang kedua. Tapi yang pertama dulu hanya mampir. Bersama Ir. Misbahul Huda. Ia manajer percetakan.

Saat kami mendarat di Dublin –dari Frankfurt, Jerman– hari sudah senja. Dari bandara kami langsung ke pelosok jauh. Ke kota Kabupaten Limerick.

Tiba di Limerick sudah jam 23.00 –pukul twenty three hundred. Langsung meninjau percetakan koran di pelosok itu.

Waktu itu kami selalu bersemangat. Kalau mendengar ada teknologi baru di bidang surat kabar.

Di Limerick-lah kami mendengar ada mesin cetak jenis baru: kecil tapi mampu cetak warna. Bisa 16 halaman sekaligus.

Rasanya mesin itu akan cocok untuk koran-koran di daerah.

Di kabupaten itu pula kami bermalam. Hanya beberapa jam. Di sebuah hotel yang seperti rumah.

Pagi-pagi kami balik ke Dublin. Langsung ke bandara. Balik ke Jakarta via Frankfurt.

Saya pernah ke Dublin tapi belum ke Dublin.

Baru kali ini saya bisa muter-muter Kota Dublin. Ini bukan Inggris. Kota lain. Negara lain. Mata uangnya juga lain.

Secara tidak terencana kok saya tiba di Dublin.

DI’s Way di Trinity College Dublin

Jadi, mau diapakan perbatasan itu? Setelah Inggris keluar dari Uni Eropa pada 31 Oktober nanti?

Akankah dipasangi kantor imigrasi? Di selatan perbatasan dan di utaranya?

Akankah dilakukan pemeriksaan atas semua kendaraan yang lewat?

Itulah yang jadi perdebatan.

Brexit tinggal 50 hari lagi. Membangun tenda darurat pun tidak akan bisa selesai. Apalagi membangun gedung –dan fasilitas teknologi imigrasinya.

Perbatasan itu begitu naturalnya sekarang ini.

Politiklah yang membuatnya absurd. (Dahlan Iskan)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan