JAKARTA– Publik kembali disuguhkan dengan eskalasi yang kian memanas pasca penetapan Firli Bahuri sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh DPR RI. Ini ditandai dengan mundurnya Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dan Penasihat KPK M. Tsani Annafari.
Noda mantan Kapolres Persiapan Lampung Timur dan Wakapolres Lampung Tengah, itu terekam saat dirinya duduk sebagai Deputi Penindakan KPK. Pasal itulah yang menjadi pangkal durasi penentangan yang terus memanjang. Bahkan Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak awal memberikan warning agar Presiden Jokowi, Pansel KPK dan DPR tidak memilih orang-orang yang dinilai kotor.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan ada tiga isu besar jika melihat komposisi pimpinan KPK terpilih. Pertama, terkait rekam jejak buruk di masa lalu. “Salah seorang figur yang dipilih oleh DPR itu merupakan pelanggar kode etik (Firli, red). Hal ini diambil berdasarkan konferensi pers KPK beberapa waktu lalu,” ungkapnya kemarin.
Tak hanya itu, bahkan KPK telah membeberkan terkait pertemuan yang bersangkutan dengan salah seorang tokoh politik. “Noda itu terekam jelas. Bahkan pimpinan KPK memiliki bukti rekaman pertemuan Firli dengan sejumlah tokoh politik itu,” ungkapnya.
Kedua, masih terdapat pimpinan KPK terpilih yang tidak patuh dalam menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) di KPK. “Jelas ini pelanggaran. Padahal ini merupakan mandat langsung dari UU Nomor 28 Tahun 1999 dan Peraturan KPK Nomor 07 Tahun 2016. Akan tetapi persoalan ini terlewat begitu saja pada setiap tahapan seleksi,” terang Kurnia.
Ketiga, lanjut dia, tidak mengakomodir masukan dari masyarakat. Sedari awal, kata dia, berbagai elemen masyarakat, organisasi serta tokoh sudah mengungkapkan bahwa ada persoalan serius pada seleksi pimpinan KPK kali ini.
“Mulai dari Ibu Shinta Wahid, Buya Syafii Maarif, Romo Magnis, Romo Benny, pimpinan Muhammadiyah, Prof Mahfud MD, dan puluhan Guru Besar dari berbagai universitas di Indonesia. Akan tetapi masukan tersebut juga tidak diakomodir, baik oleh pansel, Presiden, maupun DPR,” tuturnya.
Oleh karena itu, kata dia, dapat dikatakan bahwa seleksi pimpinan KPK kali ini hanya dijadikan urusan segelintir elite politik saja, tanpa melibatkan masyarakat luas. Apalagi kemudian, kata dia, langkah pararel DPR RI dan pemerintah adalah dengan merevisi UU KPK melalui jalur cepat, di mana masukan dari berbagai elemen masyarakat tidak didengar sama sekali.