Begitu inti ucapan-ucapan Trump Senin lalu.
Bahkan Trump berani mengatakan kalimat yang intinya seperti ini: “Wakil ketua Tiongkok sendiri yang mengatakan pada saya bahwa mereka ingin segera deal. Apa lagi jabatan yang lebih tinggi dari wakil ketua di sana kecuali Xi”.
Padahal yang dimaksud itu adalah Liu He. Wakil perdana menteri Tiongkok. Bukan Wakil Ketua Partai Komunis Tiongkok.
Tidak ada jabatan wakil ketua partai di sana. Kalau pun yang dimaksud adalah wakil presiden, orangnya bukan Liu He.
Di atas Liu He masih ada perdana menteri Li Keqiang.
Di atas Le Keqiang ada politbiro. Tujuh orang.
Tapi Trump tidak salah. Liu He memang salah satu orang kepercayaan Xi Jinping.
Tidakkah Trump pernah menyesal menaikkan tarif itu?
“Saya memang menyesal. Kurang tinggi,” katanya dengan ketusnya.
Tapi tidak juga ada respons dari Tiongkok. Kecuali satu: Tiongkok justru membalas menaikkan tarif bea masuk barang Amerika.
Bahkan kini Tiongkok membiarkan mata uangnya menurun. Sudah jauh melewati garis psikologis yang dulu ingin dipertahankan: 7 yuan/dolar.
Senin kemarin sudah menjadi 7,1468. Berarti Yuan sudah turun 6,5 persen.
Kenaikan tarif yang ditembakkan Trump pun seperti hanya mengenai dinding strereofom.
Maka Trump pun berpikir lagi. Harus ditekan bagaimana lagi.
Ia pun menemukan jalan itu: akan mendekritkan keadaan darurat.
Dengan dekrit itu Trump bisa memaksa semua perusahaan Amerika meninggalkan bisnisnya di Tiongkok. Untuk memindahkan investasi mereka ke negara sendiri. Setidaknya ke negara lain.
Ia sedang memikirkannya. Kalau itu benar dia lakukan ramai juga.
Tapi lebih baik heboh-heboh begini daripada perang beneran.
Itulah baiknya Trump –seperti komentar pembaca Disway beberapa hari lalu– tidak mau perang. Tidak mau mendalangi kudeta.
Korut tidak ia serang. Kim Jong-Un tetap berkuasa.
Iran pun tidak dibom. Bahkan Trump tetap bilang tidak ingin ada pergantian kekuasaan di Iran.
Lama-lama saya suka dengan Trump. Di samping saya memang suka tempe, Trump itu juga menghibur.(Dahlan Iskan)