Padahal, dokumen pendukung telah diserahkan. Lantas, beredar informasi agar RDTR diproses, Neneng Rahmi harus melakukan pertemuan dengan Iwa Karniwa.
“Neneng Rahmi kemudian mendapatkan informasi bahwa tersangka IWK (Iwa Karniwa) meminta uang Rp1 miliar untuk proses penyelesaian proses RDTR di provinsi,” jelas Saut.
Permintaan tersebut lalu diteruskan kepada salah satu karyawan PT Lippo Cikarang dan direspons uang akan disiapkan. Beberapa waktu kemudian, pihak Lippo menyerahkan uang kepada Neneng Rahmi.
Neneng pun kemudian menyerahkan uang kepada Iwa Karniwa senilai total Rp900 juta dalam dua tahap pada Desember 2017.
Atas perbuatannya, Iwa Karniwa disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara untuk Konstruksi Perkara Bartholomeus Toto Saut memaparkan, PT Lippo Cikarang semula berencana membangun kawasan pemukiman di wilayah Kabupaten Bekasi seluas sekitar 438 hektare dalam tiga tahap.
Sebelum pembangunan tahap pertama di atas tanah seluas 143 hektare dilakukan, diperlukan sejumlah perizinan di antaranya Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT), izin prinsip penanaman modal dalam negeri, dan izin lingkungan serta Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Untuk mengurus IPPT, kata Saut, PT Lippo Karawaci menugaskan Billy Sindoro, Batholomeus Toto, Henry Jasmen, Taryudi, dan Fitra Djaja Purnama dan pegawai perusahaan lainnya. Mereka lalu melakukan pendekatan dengan Neneng Hasanah Yasin melalui orang dekatnya dalam beberapa pertemuan.
PT Lippo Cikarang pun mengajukan IPPT seluas 143 hektare. Setelah itu, pihak yang mewakili PT Lippo Cikarang meminta bertemu dengan Neneng Hasanah melalui orang dekatnya. Pertemuan tersebut pun terealisasi pada April 2017 di kediaman Neneng.
“Ia (perwakilan Lippo Cikarang) menyampaikan, ‘Mohon bisa dibantu.’ Neneng menyanggupi dan meminta pihak PT Lippo Cikarang berkomunikasi dengan orang dekatnya,” beber Saut.
Saut menambahkan, Bartholomeus Toto mendapat pesan bahwa Neneng menyarankan agar izin diajukan secara bertahap. Ia menyanggupi saran tersebut dan menjanjikan uang untuk pengurusan izin itu.
Pada Mei 2017, Neneng kemudian mendandatangani Keputusan Bupati tentang IPPT dengan luas sekitar 846,356 meter persegi untuk pembangunan komersial area kepada PT Lippo Cikarang. Demi merealisasikan janji pemberian suap sebelumnya, tambah Saut, pegawai divisi land acquisition and permit dari pihak PT Lippo Cikarang perusahaan dan Bartholomeus Toto di helipad perusahaan dengan total Rp10,5 miliar.