JAKARTA – Arah rekonsiliasi pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) ternyata belum juga terwujud. Prabowo Subianto sebagai calon presiden, masih menunjukan sikap kukuh untuk tidak mengakui kemenangan rivalnya, Joko Widodo. Spekulasi pun muncul jika Prabowo ingin tetap berada di barisan oposisi untuk mempersiapkan “pertempuran”pada Pilpres 2024.
Ya, hingga kemarin (28/6) Prabowo belum sepatah katapun mengakui kemenangan Jokowi. Pengamat Politik M. Qodari berpendapat, gesture yang ditunjukan Prabowo menjadi bukti dirinya masih ingin melanjutkan rivalitas. “Gesture-nya sampai hari ini menunjukan ketidakiklasan. Coba Anda baca, dan cermati pidato politiknya. Dia hanya mengakui keputusan MK, tak ada ucapan selamat, atau respon sedikit pun untuk Jokowi,” ungkap Direktur Indobarometer itu, kepada Fajar Indonesia Network (FIN), kemarin.
Tanda-tanda ini, lanjut Qodari, seakan mematahkan harapan rekonsiliasi. “Ini persoalan personal ya. Dia masih menunjukan full power banget. Pidatonya pun tak berbeda jauh saat dia kampanye. Belum ada ketulusan. Wajar, jika saya beramsumsi jika Prabowo khusunya Partai Gerindra tetap ingin menjadi oposisi,” paparnya.
Cara ini, kata Qodari, memantik kesimpulan, jika Prabowo akan terus berjuang menuju kursi Presiden. “Ini bukan lagi soal gesture. Tapi menunjukan niatnya yang ingin kembali mencalonkan diri pada 2024. Soal kompromi untuk berkoalisi, masih jauh. Level keiklasan Prabowo beda dengan Jokowi, yang secara lugas menyebut Prabowo adalah sahabatnya,” ungkapnya.
Senada disampaikan Cendikiawan Muslim Azyumardi Azra. Mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu sepakat dengan apa yang dikatakan Qodari, jika Prabowo masih berambisi.
“Sampai hari ini (kemarin, red) publik belum mendengar apalagi melihat budaya demokrasi yang selama ini dibangun. Dia tidak mengucapkan satu kata pun nama Jokowi. Berbeda dengan Jokowi yang menyebut sahabat. Ini soal kebesaran hati,” terangnya.
Fakta yang muncul atas kondisi ini, sambung pria yang pada tahun 2010, memperoleh titel Commander of the Order of British Empire, dari Kerajaan Inggris itu, membuat kesenjangan di tengah masyarakat.