Pemilu Jangan Lagi Bermasalah

“Debat-debat capres kalau kita lihat, para jubir meng­kampanyekan calon presiden dari partainya, tetapi sesung­guhnya mereka juga “men­jual” diri mereka supaya orang kenal, lari dari substansi capres yang diinginkan seperti apa,” paparnya.

Di sisi lain, tidak ada ajang debat caleg seperti orang membeli kucing dalam karung. Sebagai contoh, empat guru besar dan lima dokter di DPD tumbang semua karena tidak punya uang.

Mereka adalah Prof Da­mayanti Lubis, Prof Farouk Muhammad, Prof Djaelani, dan dia sendiri.

“Tidak mungkin memainkan budaya politik seperti itu, membeli suara dan sebagai­nya,” cetus dia.

John Pieris mengaku men­jelang pemilihan, ada pihak yang menawarkan suara ke­pada dirinya dengan me­minta dana Rp100 juta. Pihak tersebut berjanji akan me­nyiapkan 10.000 suara untuk dirinya.

“Ya pasti saya tidak mau. Kalau pun saya ada uang, saya tidak mau,” katanya.

Menurutnya, sistem politik yang ada saat ini merusak demokrasi karena hanya akan menguntungkan dinasti po­litik dan pemodal. Hal itu juga menguntungkan orang-orang yang bukan ahli di bi­dangnya.

’’Mereka bisa lolos karena mem­punyai banyak uang,’’tutur dia.

Anggota DPR dari Fraksi Gol­kar Hetifah Sjaifudian menga­takan, partai politik harus melakukan evaluasi secara lebih mendalam terkait dengan perubahan-perubahan meny­angkut proses demokrasi di Indonesia. Salah satunya ter­kait sistem pemilu.

Menurutnya, saat membahas UU Pemilu, sebenarnya Pan­sus RUU Pemilu mengingin­kan untuk memperkuat sistem presidensial dan menghilang­kan beberapa praktik nonde­mokrasi di dalam proses pe­milu, seperti politik uang. Termasuk juga kampanye hitam.

“Keserentakan ini mem­buat beban dari penyeleng­gara pemilu memang men­jadi berlipat dan ternyata tidak bisa diakomodir dengan apa yang sudah kita siapkan di dalam pengaturannya,” kata­nya. (fin/yan)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan