”Dalam putusan itu kan ada dua perintah utama yaitu pencabutan blokir sertifikat milik pedagang di BPN dan Pemkab mengelola Pasar Ciwidey,” jelas Dicky.
Dicky menambahkan, Pemkab belum bisa mengelola apalagi melakukan pembangunan infrastruktur di Pasar Ciwidey tanpa adanya serah terima aset dari PT PCS. Soalnya sejak awal, pembangunan Pasar Ciwidey memang sempat dikerjasamakan antara Pemkab dengan PT PCS.
”Akhirnya setelah putusan gugatan class action, kami menggugat PT PCS yang belum juga menyerahterimakan aset seluas sekitar 36.000 meter persegi tersebut. Gugatan itu kemudian dimediasi oleh pengadilan yang melahirkan akta perdamaian antara Pemkab Bandung dengan PT PCS,”akunya.
Dalam akta tersebut, PT PCS sepakat untuk secepatnya menyerahkan alas hak aset kepada Pemkab Bandung. Sebagai konsekuensinya, Pemkab diharuskan memberi kompensasi sebesar Rp 4,8 miliar kepada PT PCS. Namun kompensasi tersebut ditegaskan Dicky, bukan untuk pembayaran lahan.
”Kompensasi itu hanya untuk percepatan penyelesaian masalah Pasar Ciwidey,” tuturnya.
Di sisi lain, Dicky paham betul bahwa sebagian hak atas bangunan pasar sudah dialihkan ke para pedagang. PT PCS mengaku kepada Pemkab bahwa dari 36.000 meter persegi itu, hanya 7.000 meter persegi yang sudah dialihkan haknya ke pedagang.
”Namun kami ingin memastikan kalau aset yang sudah dialihkan ke pedagang lebih dari itu. Setelah serah terima alas hak dari PT PCS, para pedagang tetap memiliki hak atas kios mereka sesuai sertifikat hak guna bangunan yang dialihkan dari PT PCS saat pembelian. Namun serah terima itu membuat Pemkab memiliki kewajiban untuk mengelola dan membangun infrastruktur pasar sekalipun kiosnya milik para pedagang,”tegasnya. (rus)