ADAKAH pemilih yang merasa salah coblos di TPS? Lalu minta kartu suara yang baru?
Saya belum pernah menemukan yang seperti itu. Pun kalau kelak tidak pakai kartu selebar koran lagi. Diganti dengan kartu elektronik. Yang mesin coblosnya tidak mengenal pilihan ‘cancel’ di layarnya.
Begitulah yang dipakai di India. Di Pemilu sekarang ini. Sampai pemilih yang merasa salah pencet pun memotong ujung jarinya. Yang ada tintanya (DisWay kemarin).
India sendiri tidak ujug-ujug begitu saja pakai coblosan elektronik. Ujicobanya sudah panjang. Sejak lebih 30 tahun lalu. Secara bertahap. Berjenjang pula.
Mula-mula hanya untuk pilkada. Itu pun hanya di beberapa kota kecil.
Isu paling utama tentu kepercayaan. Apakah mesin elektronik itu bisa dipercaya.
Maka untuk memperoleh kepercayaan itu di satu pilkada dilakukan paralel: pakai mesin dan pakai kertas. Yang diakui secara hukum adalah yang kertas.
Dari situ lantas dilihat: apakah hasilnya berbeda.
Ternyata tidak. Hasilnya benar-benar sama. Orang mulai agak percaya pada mesin itu.
Isu krusial berikutnya adalah: apakah tidak ada kecurangan. Misalnya: penyelenggara pemilunya memihak incumben. Bagaimana kalau itu terjadi?
Perancang mesinnya sebenarnya sudah menjamin. Data yang masuk ke mesin itu tidak bisa diubah oleh siapa pun. Pun oleh pembuat mesinnya.
Jangankan data yang masuk. Programnya pun dibuat permanen. Begitu program itu diinstall langsung tergores di silicon. Tidak ada yang bisa menghapus atau mengubah. Program itu tergores permanen di saat mesin itu di produksi.
Tapi, siapa percaya?
Kan manusia penuh curiga?
Bukankah ayat khusnudzon tidak berlaku di setiap pemilu?
Tidak masalah. Akan dijawab dengan bukti.
Maka uji coba yang lain pun dilakukan. Di beberapa distrik. Saat pilkada. Carannya: mesin itu dilengkapi printer. Untuk mencetak semacam ‘kwitansi’. Setiap pemilih diharuskan mencetak pilihannya. Print-out itu dilihat oleh si pemilih. Cocok atau tidak. Dengan tombol yang dipencetnya tadi.
Berulang kali ujicoba jenis ini dilakukan. Hasilnya memuaskan.