Tabligh

Masjid ini besar. Besar sekali. Perkiraan saya bisa menampung 20.000 jemaah. Termasuk di lantai dua di bagian belakang itu.

Saya pun masuk masjid. Penuh. Saya mengambil sela-sela di barisan ke lima. Agar bisa melihat imam dan pengkhotbahnya.

Tepat jam 13.00 terdengar suara azan. Keras sekali. Saya agak kaget. Kok sudah azan? Bukankah petugas gerbang tadi mengatakan salat dimulai pukul 13.40?

Ternyata itu suara azan dari masjid sebelah. Yang pakai pengeras suara yang sangat nyaring. Sampai seperti dari masjid ini. Lalu ada suara azan yang lain lagi. Yang agak kurang keras. Dari masjid yang lain lagi.

Saya mengambil Quran. Membacanya. Di sebelah saya juga membaca Quran. Tapi konsentrasi saya terbelah. Ada suara khotbah yang sangat keras masuk ke dalam masjid ini. Dari masjid yang azannya juga keras tadi.

Ketika khotbah selesai, ternyata khotbah keras dari masjid sebelah juga baru selesai. Saya tersenyum dalam hati.

Saya perhatikan iqomah sebelum salat. Ternyata agak beda. Persis seperti azan. Hanya ditambah ‘marilah salat’.

Begitu salat selesai banyak yang langsung berdiri. Tidak dzikir atau wirid. Saya perhatikan hanya saya yang pakai celana panjang. Dan kaus panjang. Dan tanpa jenggot.

Saya lantas keliling melihat dalamnya masjid. Di pinggir-pinggir tembok banyak terlihat kompor. Mereka memasak di dalam masjid.

Saya tahu: anggota Jamaah Tabligh itu sangat mandiri. Melakukan perjalanan misi dakwah ke mana pun tidak akan merepotkan orang. Mereka membawa bekal sendiri. Masak sendiri. Tidur bisa di mana saja.

Di pojok-pojok masjid penuh tumpukan bangkelan. Atau tas sejenis ransel. Mereka berada di masjid itu selama dua minggu. Atau satu bulan. Hanya memikirkan ibadah. Dan bagaimana mengembangkan misi.

Di sekitar masjid terlihat seperti pondokan. Banyak jemuran. Di mana-mana.

Mereka datang dari berbagai daerah di Pakistan. Yang sempat saya temui misalnya dari Balochistan. Atau dari Peshawar.

Di Indonesia Jamaah Tabligh juga meluas. Setahun sekali kumpul di Karawang. Ratusan ribu orang.

Di Magetan, kampung saya, juga besar. Pusatnya di Temboro. Sekitar 10.000 orang ada di sana.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan