JAKARTA – Banyak wakil rakyat yang turut serta kembali dalam kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 belum melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Meski telah tenggat sampai 31 Maret mendatang.
Menanggapi hal itu, Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Suryani mengatakan, pihak penyelenggara pemilu harus tegas berkaitan dengan aturan administratif yang harus dijalankan. ”Secara moral, attitude caleg tersebut juga harus mendapat perhatian dari parta pengusung. Karena akan mencoreng kredibilitas partai,” kata Suryani kepada Fajar Indonesia Network, di Jakarta, kemarin (23/1).
Lebih lanjut dosen ilmu politik UIN Jakarta ini mengatakan, jika calon legislatif yang saat ini masih menjabat dan belum melaporkan LHKPN, masyarakat seharusnya harus mengetahui nama-nama tersebut. Meski persoalannya masyarakat masih tabu untuk hal tersebut.
”Masyarakat kita belum terlalu memperhatikan persoalan seperti ini. Hingga caleg yang bersangkutan mengabaikan dan tidakakan mempengaruhi elektabilitasnya,” tuturnya.
Penyelenggara pemilu juga diminta aktif. Jika sampai batas watu yang ditentukan para legislative yang mencalonkan diri belum juga melapor, penyelenggara pemilu bisa mempublikasikan nama-nama yang belum menyerahkan LHKPN.
Suryani menambahkan, dengan dimunculkannya nama-nama caleg tersebut. Bisa mengedukasi masyarakat. Masyarakat juga lebih terbuka ketika memilih wakil rakyatnya untuk duduk di parlemen.
Terpisah, Pengamat Politik Emrus Sihombing menegaskan, politik seharusnya mengedepankan integritas dan kepercayaan publik. Jika ada anggota legislatif atau pejabat negara yang belum menyerahkan LHKPN, patut dicurigai. Bukan tanpa alasan, karena mereka menjabat dipilih rakyat. Sehingga mereka juga harus membuka harta kekayaan kepada publik.
”Mereka saja disebut dewan yang terhormat, harusnya mereka paham kata-kata itu. Mereka harus terbuka. Sehingga bisa dibandingkan harta kekayaan sebelum menjabat dan sesudah menjabat,” katanya.
Terkait dengan adanya alasan gagap teknologi (gaptek) Emrus mengaku alasan tersebut tidak bisa ditolerir. Menurutnya, sebagai pemimpin tidak semua harus dikuasai.
”Mengaku tidak paham dengan aplikasi adalah hal yang memalukan. Terlebih wakil rakyat yang dipilih langsung. Usia berapa dia. Apalagi masih 40an 50an, menurut saya harusnya masih bisa. Apalagi legislatif yang tergolong milenial, kalau mereka tidak bisa, itu bohong namanya,” tegas Emrus.