”Dengan satu panel ini bisa tahan lima hari. Pernah saya panjer selama itu, matinya perlahan. Tidak langsung mak pet, tapi dari redup dulu. Kalau mau lebih lama, ya tinggal diperbesar saja rangkaiannya ini. Ke depan, saya mau coba buat menghidupkan motor,” katanya Alumni SMK 2 Pati itu.
”Ketika garam terkena air maka mengalami proses mengurai senyawa negatif dan positif. Garam inilah yang jadi penghantar ion listrik melalui seng dan besi-besi yang dipasang di peralon. Untuk seliter lumpur yang diambil dari Desa Kuwu sudah bisa menghasilkan tegangan 16,4 volt,” terangnya lagi.
Nur pribadi harus merogoh kocek sebesar Rp 600 ribu untuk membiayai temuan ilmiahnya tersebut. Tapi, perabotnya tak harus sama seperti miliknya. Seperti pralon bisa diganti botol atau logam bisa diganti dengan yang lebih murah, asal karakteristiknya sama.
”Banyak yang tidak percaya awalnya sebelum saya tunjukkan. Karena memang bahan dasarnya ini. Saya sendiri pilih lumpur, karena air laut itu cair, bisa goyang. Angin itu jam-jam an. Tak setiap waktu. Nah lumpur ini pas dan saya lihat di jurnal-jurnal penelitian lain belum ada,” katanya.
Kendati demikian, harapannya agar temuannya ini bisa jadi solusi energi listrik terbarukan tetap saja ada kendalanya. Lantaran, lokasi bahan dasar lumpur, yaitu Bleduk Kuwu itu sendiri masuk ke dalam kawasan dilindungi negara. Makanya, ia berpikiran mengambil Lumpur Sidoarjo yang ia analisa punya kandungan mirip jika tak dapat izin Pemkab Grobogan.
”Ini sangat ramah lingkungan. Karena lumpur Bleduk Kuwu hanya dibiarkan begitu saja. Inilah peluang yang harus digunakan sebagai energi alternatif pengganti cadangan minyak bumi yang terus menurun tiap tahunnya. Lagipula saya hanya ambil energinya. Setelah itu saya kembalikan dan kandungannya akan kembali seperti semula saat didiamkan,” cetusnya. (gul/JPC/ign)