Ari menceritakan bahwa proses awal itu seperti menggambar peta. Mereka melihat para tokoh tersebut pernah berhubungan dengan siapa saja. Organisasi maupun pergerakan yang diikuti para tokoh dicatat. Lalu mereka mulai bergerak. “Cari dari keluarga dekat dulu,” ungkapnya.
Yang mereka cari adalah surat tulisan tangan dan menggambarkan pribadi para tokoh. Mereka ingin menceritakan bahwa tokoh pendiri bangsa ini juga manusia. Lengkap dari berbagai sisi. Sayangnya, cara itu tak memuaskan mereka. “Banyak surat yang bermuatan politik,” imbuh pria asli Semarang tersebut.
Diberi tenggat hanya tiga bulan membuat kerja keduanya kudu ekstrakeras. “Seperti celeng kerjanya,” kata Ari, lantas tertawa.
Mereka kemudian mulai keluar. Bonnie yang bertugas ke Belanda dan mengontak sejarawan luar negeri. Di Indonesia, Ari menelusuri dari Arsip Nasional dan arsip keluarga ahli waris. “Saya ke tempat Bu Gemala Hatta. Awalnya boleh untuk memajang surat Bung Hatta, namun menjelang pameran tiba-tiba nggak boleh,” ucapnya.
Di Belanda, Bonnie antara lain mendatangi The International Institute of Social History (IISG) di Amsterdam dan Arsip Nasional Kerajaan Belanda. Bonnie juga mendapat surat Sjahrir dari sejarawan Sorbonne Prancis Kees Snoek.
”Dalam cerita Hatta di bukunya, Mengenang Sjahrir, diceritakan Sjahrir kesepian saat di Banda Neira. Lebih kesepian daripada saat dibuang ke Bovendigul. Namun ternyata tidak,” ungkap Bonnie.
Tapi, dari surat yang dikirimkan Sjahrir kepada Maria Duchateau, istrinya, terungkap di Bovendigul pun dia kesepian. Dalam surat yang ditulis di Tanah Merah, 30 Mei 1935, itu, perdana menteri pertama Indonesia tersebut mengatakan, “Kehidupanku di antara orang buangan keadaannya jauh lebih berat daripada di dalam sel isolasi di penjara.” (*/c9/ttg)