”Anak korban pornografi dan siber itu semakin hari makin naik. Kalau tiga tahun sebelumnya, kasus-kasus di dunia pendidikan, terutama anak sebagai korban menduduki posisi nomor 3. Tapi saat ini sudah bergeser. Kasus pendidikan jadi rangking 4, kasus di dunia pornografi dan siber menjadi ranking ketiga. Ranking Pertama tentu masih didominasi oleh anak berhadapan dengan hukum, baik sebagai korban, saksi, maupun pelaku. Urutan kedua keluarga dan pengasuhan alternatif, dan urutan ketiga pornografi dan cyber crime,” tuturnya.
Untuk itu Susanto berharap kasus yang melibatkan anak-anak harus menjadi tanggung jawab negara. ”Untuk memastikan anak kita terlindungi dengan baik, tapi yang sebenarnya penting memberikan kepastian anak kita tidak menjadi korban sekaligus pelaku adalah pertama korporasi. Korporasi penting, termasuk korporasi yang bergerak di media sosial. Dulu KPAI pernah memanggil manajemen WA Indonesia, Facebook, Twitter, terakhir adalah Tiktok. Itu semata mata ingin bangun kesepahaman KPAI dengan korporasi media sosial, Facebook, WA, tiktok agar UU yang berlaku di Indonesia itu harus senafas. Termasuk juga UU ITE, pornografi, dan tentu UU perlindungan anak,” paparnya.
Lebih jauh Susanto memaparkan, digital native kita memang sangat tinggi saat ini. Indonesia merupakan negara yang besar sebagai pengguna media sosial terutama pada usia milenial.
”Saya berharap adanya kasus ini harus jadi perhatian sekolah, orangtua dan masyarakat agar memantau tidak menjadi korban atau pelaku. Apapun kejahatan yang ada. Prinsipnya jangan sampai smartphone itu menjadi otoritas anaknya sendiri, tapi orangtua harus mengawasi. Password juga harus dikontrol oleh orangtua. Segala kemungkinan potensi kejahatan ada,” tutupnya. (AF/FIN/ign)