JAKARTA – Likuifaksi menjadi ancaman serius di Sulawesi Tengah (Sulteng). Sebanyak lima ribu orang dikabarkan hilang.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, mengungkapkan hal tersebut. Menurut dia, peristiwa likuifaksi kini menjadi perhatian serius pemerintah.
”Bukan hanya gempa dan tsunami. Namun, kita lihat bagaimana likuifaksi di Palu mampu menyapu ribuan rumah dan menelan korban jiwa meninggal,” ujar Sutopo di Gedung BNPB, kemarin (7/10).
Proses likuifaksi memang kerap terjadi pasca gempa. Akan tetapi, kata Sutopo, likuifaksi di Palu merupakan peristiwa terparah karena terjadi pada cakupan daerah yang sangat luas. ”Dan, itu terjadi pas di wilayah ramai pemukiman penduduk. Kita lihat bagaimana tanah itu bergerak dan menimbun bangunan di atasnya,” jelasnya.
Saat memasuki tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, pemerintah akan melarang untuk kembali membangun di atas tanah dengan potensi likuifaksi yang tinggi. ”Jadi daerah itu (terkena likuifaksi) telah kita tandai. Kita imbau kepada warga nantinya agar tak mendirikan bangunan di wilayah itu. Sebab, kalau gempa terjadi, hal itu akan terulang lagi,” kata Sutopo.
Likuifaksi merupakan fenomena yang terjadi ketika tanah yang jenuh kehilangan kekuatan dan kekakuan akibat adanya tegangan. Seperti getaran gempa bumi. Dijelaskan Sutopo, peristiwa likuifaksi semestinya harus menjadi peringatan terhadap wilayah lain di Tanah Air. Ini agar area dengan potensi likuifaksi tinggi bisa segera dideteksi dan menghindarkan warga untuk membangun permukiman. “Pada tahun 2012 juga sudah dilakukan penelitian oleh badan geologi. Hasil dari penelitian itu memang menunjukkan Palu menjadi wilayah dengan potensi likuifaksi yang sangat tinggi,” terang Sutopo.
Berdasarkan data BNPB, dampak likuifaksi di daerah Petobo dan Balaora menunjukkan, 3095 unit bangunan rusak. Parahnya, kata Sutopo, menurut laporan kepala desa Balaora dan Petobo lima ribu orang belum ditemukan. “Namun informasi dari kepala desa masih perlu kita konfirmasi. Dan korban meninggal yang ditemukan di daerah itu baru 285 orang. Hingga Minggu, 7 Oktober, kemarin, tercatat 1.763 orang meninggal. Korban tertimbun, 152 orang dan masih hilang 265 jiwa. “Hingga kini 1.755 jenazah telah dimakamkan,” urai Sutopo.