CIMAHI – Terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dampaknya sangat dirasakan para pengrajin tempe di Kota Cimahi. Sebab, kedelai yang biasa dipakai untuk membuat tempe adalah hasil impor.
Rusdin,42, salah seorang pengrajin tempe di Cimahi mengungkapkan, pembuatan tempe berbahan kedelai impor, karena disamping kedelai lokal harganya tidak berbeda jauh dengan kedelai impor, bulir kedelai lokal juga kebanyakan terlalu kecil dan mudah pecah atau hancur ketika dibuat tempe.
“Kedelai lokal lebih murah dibanding kedelai impor, tapi karena kualitas kedelai lokal masih kalah dengan impor mau tidak mau kami tetap membeli kedelai impor,” ungkapnya.
Kendati harga kedelai naik, lanjutnya, namun biasanya tak akan berpengaruh terhadap harga di pasaran. Sebab untuk menaikan harga sangat sulit. Untuk itu, biasanya pedagang memilih mengecilkan ukuran daripada harus menaikan harga.
“Naikan harga jual tempe bukan solusi. Lebih baik kita kecilkan ukuran. Biasanya untuk ukuran dengan berat bahan 6 ons dijual Rp 5 ribu ya kita kurangi bahannya hinga empat hingg lima ons,” bebernya.
Rusdin menyebutkan, saat ini harga kedelai impor masih Rp 7.800 perkilogram. Rata-rata ia menghabiskan sekitar enam kuintal kedelai perhari untuk memproduksi tempe.
“Naiknya belum tau, tapi paling naik biasanya Rp 8.000 sampai 8.200 per kilogram,” tandasnya.
Terpisah saat dihubungi Pengamat Ekonomi Universitas Pasundan Bandung, Acu Viarta mengungkapkan, persoalan kedelai di Indonesia merupakan permasalahan klasik yang hingga kini belum terselesaikan. Termasuk saat Presiden Jokowi menggaungkan swasembada kedelai.
Buktinya, kata dia, hingga saat ini, khusus kedelai, para pengrajin tempe, termasuk pengusaha di Kota Cimahi masih bergantung pada negara lain untuk memenuhi kebutuhan kedelai.
Meski harga tergolong mahal dan ada kenaikan tapi pengrajin tempe tetap memilih kedelai impor dari luar lantaran kualitas tempe impor jauh lebih baik dibandingkan tempe lokal.
“Dampak langsungnya, bahan baku otomatis akan meningkat. Kalau saya lihat ada kenaikan dari bahan baku kedelai. Minggu-minggu ini sampai Rp 200. Saya kira akan berdampak pada produk turunannya, tempe naik,” jelasnya.
Sebenarnya, lanjut Acu, Indonesia, khususnya di wilayah Timur seperti Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki potensi untuk mengembangkan kedelai. Meski tidak sampai melepaskan diri dari ketergantungan impor, tapi, kata dia, minimalnya produksi lokal kedelai bisa mengimbangi kedelai impor.