JAKARTA – Kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib selalu menarik perhatian sejumlah kalangan. Terlebih Pollycarpus Budihari Prijanto, terpidana atas kasus tersebut telah dinyatakan bebas pekan lalu.
”Dengan bebasnya Polycarpus, kasus hukum dalam perkara pembunuhan Munir selesai sudah,” ujar Ketua Presidium IPW Neta S Pane pada wartawan, kemarin (2/9).
Kendati demikian, tidak bisa dihindari banyaknya pihak yang tidak puas dengan penyelesaian kasus ini. Sebab kata Neta, pembunuhan Munir tetap menimbulkan misteri hukum dan sekaligus menjadi catatan hitam dalam dunia hukum Indonesia.
”Itu karena aparat penegak hukum tak kunjung mampu menjerat maupun menghukum otak pelaku pembunuhan Munir,” imbuhnya.
Kendati demikian, kasus pembunuhan ini bisa dibuka kembali. Itu jikalau ada bukti dan fakta baru. ”Meski sepertinya hal itu mustahil akan terjadi karena kasus ini diduga melibatkan sebuah rezim yang berkuasa saat itu,” pungkas Neta.
Sejumlah aktivis HAM merasa kecewa atas bebasnya Polly dari jeratan hukum. Alasannya pemerintah hingga saat ini belum kembali membuka hasil Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir (TPFKMM). Bahkan, komitmen Presiden Joko Widodo dalam menyelesaikan persoalan ini pun dipertanyakan. Pasalnya, kematian Munir termasuk dalam kasus pelanggaran HAM berat.
Direktur Lokataru Haris Azhar menyatakan, pemerintah harus menyelesaikan kasus kematian Munir untuk memberikan keadilan terhadap istri Munir, Suciati, maupun kedua anaknya, Alif dan Diva.
Sehingga, lanjut Haris, Presiden Joko Widodo harus kembali membuka TPFKMM yang sebelumnya telah di serahkan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 24 Juni 2005.
”TPFKMM itu sebetulnya ada levelnya Polly, Muchdi dan Hendropriyono. Terus dilaporan itu juga disebutkan institusi yang digunakan untuk menjadi pendukung terjadi pembunuhan terhadap Munir,” kata Haris seperti diberitakan JawaPos.com, kemarin (2/9).
Meski laporan dokumen TPFKMM itu dinyatakan tiada oleh Menteri Sekertaris Negara era SBY, Sudi Silalahi. Namun hal itu tetap menjadi tanggung jawab Presiden Jokowi untuk dapat membuka dan mengumumkannya ke publik. ”Sebab, sejak 2005 hingga saat ini masyarakat tidak tahu persis isi laporan itu,” ujar Haris.