Di pelabuhan kecil tersebut, mereka kembali mengurus izin untuk pelayaran ke Lombok. Mereka pun diizinkan untuk kembali berlayar.
Sebetulnya, menurut Mudatsir, pihaknya ingin berlayar hari itu juga. Namun, gelombang laut sangat membahayakan untuk kapal kayu seperti RST Ksatria Airlangga. Baru Jumat (10/8) pukul 02.00 kapal kembali berlayar. Nakhoda sengaja berangkat pagi-pagi agar bisa mendarat di Pelabuhan Bangsal, Lombok, secepatnya.
Yang paling mendebarkan mereka rasakan saat melintasi Selat Bali. Gelombang tinggi. Persis seperti yang disampaikan Syahbandar Tanjung Perak.
Badan kapal yang memiliki panjang 27 meter dan lebar 7,2 meter itu terombang-ambing di tengah laut. Bahkan, berkali-kali percikan ombak sampai masuk ke ruang nakhoda. Dek kapal basah oleh air laut. ”Saya periksa bagian dek, air juga masuk,” tutur Agus.
Saking tingginya gelombang, Agus dan kru waspada. Siap-siap jika terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Namun, RST Ksatria Airlangga akhirnya bisa terus melaju. Dan, tiba di Pelabuhan Bangsal pada Sabtu (11/8) pukul 07.00.
Seluruh kru kapal pun bisa bernapas lega. Namun, mereka kaget. Papan nama dengan tulisan ”RS Terapung Ksatria Airlangga” yang menempel di lambung kapal pecah.
”Ini baru kami sadari saat nyandar di sini (Pelabuhan Bangsal, Red). Kami berkesimpulan ombaknya memang tinggi,” tutur Agus yang pernah bertugas di pulau-pulau kecil Maluku selama 10 tahun.
Ternyata perjuangan itu tidak sia-sia. Sejak kapal medis tersebut berlabuh di Pelabuhan Bangsal, para pasien korban gempa terus berdatangan. Silih berganti. Kehadiran rumah sakit terapung sangat berarti bagi para korban gempa bumi. ”Kami berani karena keyakinan. Kehadiran kapal ini memang sangat dibutuhkan saudara-saudara kita,” kata dokter yang murah senyum itu. (*/c11/ttg)