Bapak-Ibu Normal, Dua Anaknya seperti Bule

Di Kampung Ciburuy saat ini ada sembilan albino. Dari anak-anak yang masih balita hingga manula (manusia lanjut usia). Paling kecil anak Nana, Jajang, 2,5, sedangkan paling tua Emak Entar, 60. Tujuh lainnya adalah Lukman Hakim, 3; Dewi Resmana, 13; Heri Agustin, 15; Rosana, 17; Firman, 40; Isur Suryana, 41; dan Asep, 50.

Jumlah penduduk Kampung Ciburuy saat ini sekitar 1.600 orang. Artinya, angka preferensi albino di Ciburuy mencapai 1:178 atau 1 albino di antara 178 orang normal. Jumlah itu termasuk sangat tinggi. Sebagai perbandingan, berdasar data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), angka preferensi albino di dunia saat ini 1:17.000. Artinya, hanya ada 1 albino di antara 17 ribu orang.

Sebenarnya, kata Nana, albino di beberapa kampung lain di Garut juga ada. Tapi, umumnya hanya satu dua orang. Contohnya di Desa Pamalayan dan Siderang Datar. Itu pun, bisa jadi, warga albino di dua kampung tersebut masih keturunan warga Ciburuy.

’’Di sini (Ciburuy, Red) paling banyak. Sampai ada yang menyebut kampung kami ini kampung bule,’’ ujarnya dengan logat Sunda yang kental.

Terkait kapan keturunan albino muncul di Kampung Ciburuy, warga tidak bisa memastikan. Menurut warga, lahirnya anak albino di kampungnya merupakan sebuah keajaiban. Seperti yang dialami Nana. Berdasar pengalamannya memiliki dua anak albino, sebelum istrinya melahirkan, selalu ada pemberitahuan lewat mimpi. Tiba-tiba ada orang yang datang ke Nana dan menyampaikan bahwa dirinya akan memiliki anak albino.

’’Itulah keajaiban. Nggak bisa ditentukan kapan akan ada anak lahir albino. Wallahu a’lam. Kakak saya juga begitu. Dia juga punya dua anak albino. Yang gede perempuan, adiknya laki-laki,” ungkapnya. Kakak Nana itu bernama Masadi, 50. Dua anak Masadi yang kelebihan pigmen ’’bule’’-nya itu adalah Rosana, 17, dan Lukman Hakim, 3.

Orang albino atau Sunda Walanda memiliki beberapa keterbatasan. Salah satunya, silau saat terkena sinar matahari. Kemudian, warna kulit yang berubah menjadi merah ketika beranjak dewasa karena kerap terpapar matahari. Meski warna kulit bisa berubah, mereka tetap pergi ke kebun untuk bertani.

’’Ya tetap ke sawah, kadang hujan-hujanan. Masalah kulit warna berubah tidak jadi masalah. Yang penting, punya mata pencaharian,” terang Nana.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan