Dhimam Abror Raih Yudisium Doktor

Namun demikian, tidak berarti media cetak tidak memiliki tantangan di era digital ini. Sebab, makin maju, media cetak harus bisa tampil kreatif. Begitu pula dengan penyajian beritanya.

”Untuk itu, media cetak atau koran harus memberikan yang beda dengan berita online. Yakni, koran harus mengutamakan penulisan yang enak dibaca serta memberikan ruang bagi otak untuk berkontemplasi dan memberikan imajinasi bagi pembacanya,” jelas Dahlan.

Justru menurut Dahlan, perkembangan digital sangat berpengaruh pada bidang lainnya. Dia menceritakan, beberapa waktu lalu, dirinya ke Tiongkok untuk keperluan berobat. Di sebuah rumah makan, sebagian besar pembayaran dilakukan melalui handphone. ”Bahkan hampir 90 persen transaksi menggunakan handphone (digital, Red),” tuturnya.

Bahkan, jika pun konsumen hendak meminta kwitansi, maka yang dikasihkan berbentuk barcode yang dikirim melalui handphone.

Sementara itu, menjawab salah satu pertanyaan peserta kuliah umum, terkait kode etik jurnalistik, Dahlan menyebut, merupakan perkara yang tidak bisa ditawar-tawar. Sebab, kata dia, kode etik jurnalistik merupakan pegangan wartawan agar tidak melenceng dalam proses jurnalistik.

Diakui Dahlan, munculnya koran kuning tidak terlepas dari pengabaikan kode etik jurnalistik. Namun persoalannya, melanggar kode etik itu sendiri, tidak bisa ditindak sesuai aturan hukum yang berlaku. Sebab itu, agar wartawan tetap berpegang pada kode etik, maka hal itu harus dimasukkan dalam aturan perusahaan.

”Dulu, hal itu saya sudah sampaikan itu kepada Dewan Pers. Sehingga, wartawan yang melabrak kode etik jurnalistik sama dengan melanggar aturan perusahaan. Sehingga bisa ditindak secara aturan perusahaan,” tegasnya. (kos/rie)

Tinggalkan Balasan