Dia dan timnya terus berjalan sampai Jalan Dalem Kaum dan Kepatihan. ”Di sana saya ketemu dengan pejuang lain yang berteriak ‘bakar… bakar…!” seru Idi mengingat kembali peristiwa itu.
Pria yang lahir 7 Maret 1928 itu lantas melemparkan bom Molotov ke wilayah pertokoan di sana. Meskipun dia sempat ragu karena itu milik warga Bandung, tapi dia tetap melemparkan bom itu sesuai dengan perintah.
Setelah membakar di beberapa titik, dia lalu bergabung dengan pasukan yang lain di Tegalega. Di sana, dia berpisah dengan pasukannya untuk membantu para pengungsi di berbagai pos. ”Saya bantu di bagian kesehatan juga, bantu yang dirawat itu, ngangkut-angkut,” ujarnya.
Tak hanya di peristiwa Bandung Lautan Api, Idi juga ditugaskan dalam misi-misi lainnya, seperti pemberantasan PKI, dan DI/TII. Dia sempat dibawa ke Blora untuk ikut berjuang bersama pasukan di Jawa Timur.
”Saat kami mendapat panggilan untuk kembali ke satuan masing-masing, kami pulang ke Bandung dengan berjalan kaki. Hanya dibekali beras satu liter dan garam satu gandu,” tutur Idi.
Perjalanan yang ditempuhnya kala itu berlangsung selama 41 hari. ”Saya nggak ketemu keluarga saya selama lima tahun. Setelah saya bertugas, saya menengok orang tua yang harus pindah ke daerah Rancaekek,” katanya.
Mengenang peristiwa-peristiwa tersebut, dia mengaku cukup bahagia karena kini Kota Bandung telah tumbuh menjadi kota yang maju. Namun selaku pejuang kemerdekaan, ia selalu merasa sangat sedih ketika hari ini banyak kabar tentang para pejabat yang korupsi.
”Kami sudah susah-susah berjuang, sampai titik darah penghabisan. Banyak yang mati, yang berdarah-darah. Tapi sekarang itu korupsi. Sedih,” ucapnya.
Namun di balik itu, dia masih menaruh harapan pada generasi penerus untuk bisa melanjutkan perjuangannya. Idi berpesan kepada generasi muda untuk terus menjaga Pancasila.
”Jaga Pancasila. Karena kita seperti sekarang itu karena Pancasila. Dan lagi Undang Undang Dasar 1945. Itu, saya titip Pancasila,” tegasnya berulang-ulang. (hum/ign)