Idi Djuhana, salah seorang pelaku sejarah yang masih hidup saat pembumihangusan Bandung pada 23 Maret 1946. Kakek yang tinggal di Gang Margalaksana, kelurahan Tamansari bercerita banyak tentang tragedi bersejarah Bandung Lautan Api.
IDI menerawang mengingat-ingat saat harus turut membakar kota kelahirannya malam itu. Meski telah renta, ingatanya masih sangat tajam. Idi mampu mengisahkan peristiwa yang dijalaninya dengan cukup detail.
Meski demikian dirinya mengaku tak pernah menyangka akan menjadi bagian dari sejarah nasional Indonesia. Apalagi saat peristiwa pembumihangusan Bandung, 23 Maret 1946, dia baru berusia 19 tahun. Idi kala itu ditugaskan untuk menjaga keamanan saat malam pembumihangusan beserta keenam rekannya yang menjadi pasukan Dekking komandan diposkan di Stasiun Bandung.
Malam itu, Idi berjaga di dalam stasiun yang sepi dan hanya berbekal dua buah granat dan empat bom Molotov, tanpa senapan atau senjata lainnya. Ia berjaga jika sewaktu-waktu ada tentara Belanda datang mendekat.
”Malam itu, ada ultimatum dari Belanda, katanya tentara yang di utara harus pindah ke selatan.
Batasnya itu rel kereta api yang melintas dari timur ke barat,” kenangnya.
Menjelang tengah malam, ada suara dentuman yang sangat dahsyat.
Langit bagian utara tampak memerah. ”Kami waktu itu bingung harus berbuat apa. Tidak ada alat komunikasi, tidak ada komando. Akhirnya kami memutuskan untuk keluar dari stasiun dan memastikan ada apa,” terang Idi.
Dari stasiun, dia berjalan mengendap-endap ke arah bangunan yang kini dinamakan Gedung Pakuan, rumah dinas Gubernur Jawa Barat. Dia menyusuri jalan hingga ke Jalan Cadas Pangeran. Kini, jalan itu dinamakan Jalan Oto Iskandar Dinata.
Semula, dia mengaku sempat takut dan cemas. Terlebih lagi saat mengetahui bahwa granat yang dibawanya ternyata tidak berfungsi.
”Kami coba nyalakan granat. Kalau dulu (pemantiknya) seperti korek api, bukan kunci yang seperti sekarang. Kami nyalakan terus kami lempar, tapi sama sekali tidak terjadi apa-apa. Karena yang ada hanya itu, ya kami terus saja,” katanya.