BANDUNG – Kekerasan terhadap anak menjadi masalah serius tak hanya bagi Jawa Barat tapi juga Internasional. Hal itu dikatakan Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Jawa Barat Netty Prasetiyani Heryawan di Mapolda Jawa Barat, kemarin (15/1).
”Ruang dan layak buat anak semakin terdesak, baik belahan bumi bagian barat Aceh, hingga ke timur. Sehingga hal ini bukan hanya masalah Jawa Barat, tapi masalah nasional bahkan masalah internasional, karena dunia merasakan anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan kekerasan terhadap anak,” kata Netty.
Dia juga menyebutkan, Kota Bandung belum bisa dibilang belum layak anak karena kelayakan kota/kabupaten layak anak dilihat dari berbagai aspek. Lanjutnya, tentu ini masih katagori pertama, kalau sudah beberapa aspek madya, nindya, baru aspek yang terakhir dikatakan layak anak. Sehingga sebut istri Gubernur Jawa Barat itu, Kota Bandung masih tingkat madya belum sampai di tingkatan layak atau ramah anak.
”Hal tersebut menurut menteri PPPA, karena selama ini ada pemahaman yang harus diluruskan, jadi ketika ada kepala daerah yang mendeklarasikan kota atau kabupaten kami layak anak, padahal kota atau kabupaten layak anak harus memenuhi unsur,” ungkapnya.
Menurutnya, harus saling bersinergi antara political will dengan kebijakan yang harus dipenuhi. Serta kesulitan Kota Bandung untuk mengadvokasi kasus penanganan kekerasan terhadap anak dan perempuan, karena belum memiliki shelter atau sheep house bagi korban. Sehingga sebut dia, para korban yang dari kota Bandung sebagian besarnya dirujuk ke shelter P2TP2A Provinsi Jawa barat.
Netty menjelaskan, terkait anak-anak yang telah menjadi korban video porno saat ini, untuk hak asuh anak belum ditetapkan. Namun pihaknya masih mengidentifikasi apakah anak-anak ini, perlu kembali ke sekolah asalnya, atau harus dicari lingkungan baru. Sedang untuk pemulihan korban, Netty mengaku belum bisa menentukan berapa lamanya para korban bisa pulih kembali, karena yang tahu dan punya indikator ukuran membaiknya para korban yaitu psikolog.
”Dalam dialog psikolog dengan menteri PPPA, bahwa korban saat ini semakin membaik, karena mereka sudah mengetahui konsep kebersihan diri. Sudah memiliki managemen, artinya mereka sudah tahu tentang regulasi kehidupan, karena selama ini kontek pertumbuhan kembangnya anak-anak ini tidak memiliki nilai-nilai budi pekerti, nilai agama untuk masa depannya.”