Pilkada, Bansos dan Dana Desa Rawan Dikorupsi

JAKARTA – Pilkada serentak 2018 yang pelaksanaannya beririsan dengan tahapan pemilu legislatif dan Pemilu Presiden 2019 bisa memunculkan praktik korupsi. Karena itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengingatkan pemerintah dan aparat hukum untuk meningkatkan pengawasan. Jangan sampai ada celah-celah anggaran yang berpotensi dikorupsi untuk kepentingan pilkada.

Peneliti ICW Donal Fariz menyatakan, ada beberapa celah anggaran yang membuka lebar potensi korupsi. Salah satu di antara adalah dana untuk desa. Karena itu, Kementerian Keuangan serta Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal harus sigap melakukan antisipasi. ’’Pemerintah harus mengawasi pencairan dana desa tahap II di daerah-daerah yang menggelar pilkada,’’ kata Donal.

Selain dana desa, belanja dana bantuan sosial (bansos) dari pusat ke daerah rawan dimanfaatkan untuk kepentingan politik pilkada maupun pemilu. Apalagi, sebelum ramai-ramai pilkada, dana bansos kerap disalahgunakan di daerah. ’’Dana bansos pusat ke daerah ini harus diawasi, khususnya  daerah yang petahananya maju pilkada maupun daerah yang ada dinasti politik,’’ jelas Donal.

Potensi korupsi itu harus diantisipasi tidak hanya oleh pemerintah, aparat hukum, tetapi juga masyarakat. Sebab, tahapan pilkada dengan Pemilu Nasional 2019 berdekatan. Misalnya, waktu pencoblosan pilkada serentak pada 27 Juni dengan waktu pendaftaran pasangan capres-cawapres hanya berselang 38 hari.

Karena itu, pelaksanaan pilkada serentak 2018 dan Pemilu 2019 merupakan momentum untuk menghidupkan mesin politik partai. Bagi partai politik, Pilkada 2018 menjadi langkah untuk menakar seberapa kuat dan efektif mesin partai dijalankan menjelang pemilu presiden.

’’Hal inilah yang membuat potensi berbagai penyimpangan dan konflik berada pada titik klimaks,’’ kata Donal. (bay/c4/oni/rie)

Potensi Masalah di Pilkada 2018

– Jual beli pencalonan kandidat dan suara pemilih.
– Munculnya nama bermasalah dan calon terkait dengan dinasti politik.
– Munculnya calon tunggal.
– Kampanye berbiaya tinggi gara-gara batasan sumbangan dana kampanye dinaikkan dan diizinkannya calon memberikan barang seharga maksimal Rp 25 ribu kepada pemilih.
– Pengumpulan modal secara ilegal. Misalnya, jual beli izin usaha, jual beli jabatan, dan suap proyek.
– Politisasi program pemerintah melalui dana hibah, bansos, dan dana desa.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan