Penyakit SMA Bisa Sebabkan Kematian

”Saya tidak tahu ada penyakit genetik yang bersarang di tubuh Diqta,” ucap Dian warga Kota Cirebon saat konpresi pers dalam acara Pengenalan tentang kondisi Spinal Muscular Atrophy (SMA) di Pasar Baru Square, Jalan Otto Iskandardinata, Kota Bandung, Jumat (8/12).

Akan tetapi, sambung Dian, ketika usia Diqta memasuki 2,5 tahun gejala-gelaja penyakit SMA semakin nampak terlihat. Hal itu ditandai dengan melemahnya otot kaki, tangan, punggung, pencernaan dan pernafasan. Bahkan, kita Dian, Diqta mengalami kesulitan berjalan, makan, dan bernafas.

Melihat kondisi anak itu Dian membawa Diqta ke RSUD Cirebon, lagi-lagi jawaban pihak RS menyatakan Diqta hanya sakit biasa. Namun, karena makin hari kondisi tubuhnya semakin mengecil, Dian mendapat rekomendasi dari saudaranya untuk membawa Diqta ke RSHS Bandung.

“Febuari 2016 saya periksa ke RSHS dan dua bulan kemudian hasilnya ternyata Diqta  terdiagnosa mengidap penyakit SMA.

Sejak saat itu kondisi Diqta semakin kurus (tulangnya). Bahkan, Diqta tidak kuat untuk duduk jika tidak ada sandaran. Diqta hanya bisa berbaring jika tidak ada saya yang menemaninya,” papar Dian.

Paling mengkhawatirkan, lanjut Dian, obat untuk menyembuhkan penyakit yang menimpa anak itu tidaklah mudah bahkan sulit ditemukan. Untuk meminimalisir rasa nyeri yang dirasakan Diqta, Dian hanya melakukan psikoterapi di RSUD Cirebon tiga kali dalam satu pekan. Kemudian, dua bulan sekali kontrol rutin ke RSHS Bandung.  “Sekali psikoterapi biayanya Rp 300-500 ribu. Sedangkan untuk obat penyembuhanya di Indonesia belum ada,” terangnya. (pan/ign)

Tinggalkan Balasan