Kampung Naga, Kampung Yang Menolak Dipasangi Listrik

Ade bercerita, pada 2005, sang dirut mendengar kabar dari bawahannya. Ada satu kampung yang menolak dipasangi listrik. Merasa penasaran, dirut menjadwalkan waktu untuk berkunjung ke lokasi. Tiba pada waktunya, dia pun bertemu Ade. Disambut seperti biasa dan diajak ngobrol.

Dalam obrolannya, dirut mencoba merayu. ”Jika Bapak mengizinkan kampung ini dipasangi listrik, saya gratiskan seluruh biaya pemasangannya. Biaya pembayaran bulanan juga. Selama kampung ini berdiri. Selamanya,” rayu dirut seperti dituturkan Ade.

Ade tetap bergeming. Dia hanya tersenyum. ”Boleh,” jawab Ade. Sang dirut kaget. Tak percaya mendengar jawaban kepala adat yang membolehkan. Belum saja bibirnya melepaskan kata-kata selanjutnya, Ade langsung bicara kembali. ”Tapi ada syaratnya,” ujarnya.

”Apa syaratnya, Pak Ade?” tanya dirut. ”Kabelnya tidak boleh lewat ke atas, harus ditanam ke tanah,” tegas Ade. Dirut senang dengan syarat itu. Dia beranggapan syarat itu mudah. Kabel bisa ditanam dibungkus pelapis yang kuat.

”Bisa, Pak. Kabelnya bisa saya tanam,” kilah dirut bergegas biar Ade tidak berubah pikiran. Hanya saja Ade balik bertanya. ”Nanti kabelnya dipasang ke rumah warga? Kalau lampu di atas rumah nyala, artinya kabelnya naik ke atas dong. Kalau tidak ditanam, ya tidak boleh, Pak,” tegas Ade seraya menghancurkan harapan sang dirut. Sebab, untuk pasang saklar, kabel harus dipasang merayap naik menempel ke dinding atau atap rumah.

Dirut pun terdiam sebentar. Dia melanjutkan perbincangan dengan topik lain. Sambil tetap berpikir agar Ade mau pasang listrik. Sampai dirut pulang, tidak ada kesepakatan. Dia justru pulang dengan satu keyakinan: budaya memang harus dilestarikan. Sampai saat ini, PLN menghormati budaya Kampung Naga. Dan tidak lagi mencoba merayu mereka.

”Budaya ini sudah tertanam sehari-hari. Sejak kampung ini berdiri. Leluhur kami mengajarkannya demikian,” kata Ade.

Meski tak ada listrik, Ade menegaskan, dirinya tidak alergi terhadap teknologi. Hanya saja Ade memilah mana saja ”budaya luar” yang positif dan mana yang negatif. Dia menyebut teknologi sebagai budaya luar yang harus disaring masuk. Disesuaikan dengan budaya kampungnya. Pakaian pun, menurut Ade, juga ada yang datangnya dari luar.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan