Kampung Naga, Kampung Yang Menolak Dipasangi Listrik

Sudah ratusan tahun warga Kampung Naga bertahan dengan suasana gelap gulita tiap malam. Letaknya berada di lembah. Dikelilingi pepohonan, sawah, dan sungai. Mereka melarang kampungnya teraliri listrik. Warga yang punya hape terpaksa harus naik turun bukit sejauh 1 kilometer hanya sekadar ngecas baterai.

ANDY RUSNANDY, Tasikmalaya

KAKI Cecep Permana langsung terasa pegal. Keringat membasuhi sekujur tubuhnya. Nafasnya ngos-ngosan. Sesekali ia dan rekan-rekannya berhenti di tengah jalan. Mereka jalan kaki melewati 439 sengked (anak tangga yang sudah diplester, Red) yang curam menuju lokasi parkir sepulang dari Kampung Naga di lembah. Butuh sekitar 40 menit untuk sampai ke atas kampung.

”Serasa kali pertama disuruh lari satu keliling lapangan sepak bola. Lumayan capek. Kepala juga ikutan pening,” kata Cecep menghela nafas saat tiba di area parkir.

Dia bersama pengunjung lainnya bergegas menenggak air mineral. Langkahnya tertuju pada warung-warung yang ada di area parkiran. Istirahat sebentar memulihkan tenaga. Duduk dan ngobrol ngaler-ngidul membahas kehidupan warga Kampung Naga yang sehari-hari terbiasa hidup tanpa aliran listrik.

”Hebat juga mereka. Harus naik turun bukit hanya sekadar ngecas hape. Kita aja capeknya segini. Apalagi harus bulak balik naik turun,” gumamnya.

Kampung Naga memang sejak lama melarang kampungnya dipasangi listrik. Namun, membolehkan warganya memiliki hape dan merokok. Ketua Adat Ade Suherlin punya hape. Kepada para pengunjung, dia menunjukkan hape miliknya yang dia simpan di saku kiri baju pangsinya.

”Listrik memang dilarang. Tapi kita tidak alergi teknologi. Kita jangan sampai ketinggalan informasi terkini,” kata Ade kepada Jabar Ekspres, baru-baru ini.

Di salah satu sudut rumah, terlihat warga sedang duduk santai sambil menghisap rokok. Ade mempersilakan bagi warga yang ingin merokok. Itu dikembalikan lagi kepada individu masing-masing. Hanya saja, Ade melarang warga berjualan rokok di kampungnya. Dengan kata lain, lagi-lagi warga harus bulak balik naik turun bukit untuk beli rokok. “Listrik tidak boleh, jualan rokok juga tidak boleh,” ujarnya.

Larangan itu kini menjadi budaya di sana. Mereka berpegang teguh pada budayanya itu. Sampai saat ini, belum ada satu orang pun, atau lembaga mana pun yang berhasil membujuk dan menggoyahkan prinsip Ade. Rayuan Dirut PLN untuk pasang listrik pun pernah ditolak mentah-mentah.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan