jabarekspres.com, JAKARTA – Kasus penangkapan kepala daerah yang diduga melakukan praktik korupsi belum juga berhenti. Banyak pihak menilai biaya politik yang mahal saat pilkada sebagai salah satu penyebab maraknya perilaku ”balik modal” yang dilakukan kepala daerah.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menyatakan, di era pemerintahannya, upaya untuk mengurangi biaya pilkada sudah dilakukan. Hal itu tertuang dalam Undang-Undang (UU) Pilkada yang digunakan dalam pilkada 2015 dan 2017. ”Pembenahan sistem sudah terus-menerus dilakukan, di antaranya mengurangi pilkada biaya tinggi,” ujarnya kemarin.
Dalam UU Pilkada, baik di UU 8/2015 maupun UU 10/2016, pengurangan biaya pilkada memang banyak dilakukan. Yang paling mencolok adalah dibebankannya biaya kampanye kepada negara. Mulai untuk pencetakan baliho hingga iklan di media massa.
Selain itu, pengetatan dilakukan dengan menaikkan hukuman bagi pelaku politik uang (money politics). Pasangan calon yang melakukan politik transaksional tersebut bisa diberi hukuman administrasi berupa pembatalan pencalonan. Hal itu diharapkan bisa mengurangi praktik politik uang yang membuat pilkada berbiaya tinggi.
Tjahjo menjelaskan, peran kunci justru dipegang partai politik (parpol) saat masa pencalonan. Karena itu, dia meminta parpol mengusung kepala daerah yang memiliki integritas dan komitmen antikorupsi yang kuat. Menurut Tjahjo, belum semua parpol mengakomodasi hal tersebut.
”Belum sepenuhnya. Namun, upaya ke arah rekrutmen sudah mulai dilakukan dengan adanya psikotes, sekolah partai, dan diklat calon,” imbuhnya.
Pernyataan senada disampaikan Komisioner KPU Viryan. Menurut dia, parpol memiliki peran strategis untuk menyeleksi calon kepala daerah yang baik. ”Calon kepala daerah itu ranah dia (parpol) sebagai peserta pemilu. Domainnya di dua kelompok, partai politik dan publik yang memberikan dukungan ke seseorang,” terangnya.
Sementara itu, penyelenggara hanya bertugas memastikan proses pemilihan berjalan sesuai dan demokratis. Kalaupun ada upaya terkait integritas, hal tersebut hanya bisa dilakukan berdasar prosedur administratif yang digariskan UU. Misalnya, calon wajib menyertakan laporan harta kekayaannya. ”Soal dapat dari mana kekayaan, itu kan (domain) lembaga lain,” tambahnya.
Seperti diketahui, operasi tangkap tangan (OTT) yang menjerat kepala daerah terus terjadi. Dalam sebulan terakhir, sudah ada empat kasus. Mulai Wali Kota Tegal Siti Masitha, Bupati Batu Bara Arya Zulkarnaen, Wali Kota Batu Eddy Rumpoko, dan terbaru Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi yang diciduk KPK Sabtu lalu (23/9).