Mengurai Kasus Kredit Sertifikat Palsu yang Melibatkan 345 Guru

Selain bersedia memberikan uang pancingan dahulu sebesar Rp 5 juta, Joh menyampaikan bahwa setelah mengambil kredit itu, para guru tidak perlu daftar cicilan pengembalian uang. Kenapa kok tidak perlu mengansur, karena separuh dari plafon kredit diendapkan di bank sebagai tabungan beku. Kemudian program ini juga mendapatkan subsidi serta keringanan lainnya.

Selain itu untuk mendaftar menjadi peserta program kredit itu, para guru tidak perlu repot. Cukup menyerahkan foto kopi sertifikat profesi guru saja. ’’Siapa yang tidak tertarik. Dapat kucuran kredit tetapi tidak perlu mengangsur untuk pelunasan,’’ jelasnya.

Para guru tidak tahu ternyata foto kopian sertifikat itu digunakan sebagai sumber untuk pembuatan sertifikat palsu. Oleh Joh, fotokopian sertifikat itu diserahkan ke oknum BPR. Kemudian oleh oknum BPR itu, diberikan kepada YY si pembuat sertifikat palsu yang beralamat di Tambora, Jakarta. Menurut Agus BPR yang terkait kasus ini bernama BPR Bahtera Masyarakat Papua yang berbasis di Bogor.

Setelah beberapa waktu, proses pengajuan kredit yang menggunakan sertifikat palsu itu selesai. Para guru ditelpon oleh orang BPR untuk mengambil uangnya di Bogor. Karena tahu akan mendapatkan uang segar, para guru yang berasal dari Kabupaten Bandung sampai nekat berangkat ke Bogor.

’’Anehnya pencairan uangnya itu dilakukan setelah jam 16.00. Setelah jam operasional resmi BPR selesai,’’ ungkap Agus. Sesuai dengan perjanjian awal, para guru tidak mendapatkan dana secara utuh. Misalnya ada guru yang mendapatkan plafon kredit Rp 71 juta, kemudian dipotong Rp 20 juta sebagai simpanan di tabungan beku. Sampai saat ini belum jelas apakah tabungan beku itu benar-benar dikelola oleh BPR atau masuk kantong para sindikat.

Setelah dipotong untuk simpanan tabungan beku, uang yang diterima guru kembali disunat. Kali ini dipotong oleh guru yang jadi koordinator di tingkat kecamatan tadi. Sehingga akhirnya para guru tinggal menerima kisaran Rp 15 juta sampai Rp 19 juta saja.

Meskipun uang yang diterima jauh dari plafon kucuran kredit, para guru tidak mempersoalkannya. Sebab mereka tidak perlu membayar cicilan pelunasan.

Tinggalkan Balasan