jabarekspres.com, CIMAHI – Daya saing Indonesia dalam perdagangan intra ASEAN cendrung stagnan. Hal ini disebabkan karena masalah fundamental bagi industri dalam negeri yakni infrastruktur dan energi masih menjadi masalah klasik yang belum diselesaikan dengan baik.
Direktur Perundingan ASEAN Kementerian Perdagangan Donna Gultom mengatakan, selama ini pelaku industri dalam negeri mengeluhkan ketersediaan energi terutama gas dan listrik yang dinilai terlalu mahal.
“Ini yang dikerjakan oleh Nawacita, saya pikir butuh waktu tiga tahun lagi masalah ini bisa terealisasikan dengan baik,” katanya, kepada wartawan disela-sela Sosialisasi dan Publikasi Kebijakan Perdagangan “50 Tahun Integrasi Ekonomi Asean” di Aula Pusat Pengembangan Sumber Daya Kemetrologian (PPSDK) JL. Daeng Moh. Ardiwinata, Cihanjuang-Cimahi, Selasa (15/8).
Selain energi masalah infrastruktur yang mendukung kelancaran arus logistik juga masih menjadi masalah. Menurutnya, sejak Indonesia merdeka, hingga saat ini belum ada hal yang signifikan dikerjakan untuk industri bersaing.
Dia mencontohkan, besarnya potensi perdagangan yang dimiliki Nusa Tenggara Timur (NTT), tapi daerah tersebut tidak bisa mengekspor karena tidak memiliki pelabuhan. Akibatnya, mereka harus mengirim dulu barang ke Surabaya.
Disisi lain, investor swasta enggan masuk ke daerah tersebut karena infrastrukturnya memang belum tersedia. Sehingga jangan heran, apabila era pemerintahan saat ini memfokuskan belanjanya untuk membenahi infrastruktur.
“Ekonomi kita kaya mati karena investasi fisik besar-besaran. Setelah itu, diselesaikan investasi akan datang. Kalau Jawa saja diperbaiki yang lain pasti akan mengeluh,” ujarnya.
Suku bunga pinjaman bank pun masih dikeluhkan industri nasional. Pasalnya, bunga kredit bank masih diatas dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Sekadar gambaran, suku bunga kredit di berbagai bank di Indonesia berada pada level sekitar 11%, lebih tinggi dari sebagian besar negara Asia Tenggara lainnya seperti Singapura (sekitar 3%), Malaysia (sekitar 4%) dan Vietnam (6.5%).
“tak hanya itu, SDM terampil masih minim. Industri dalam negeri untuk berkembang juga kan membutuhkan itu. Dan kemampuan kita untuk mensuplai itu juga masih terkendala dan pak Jokowi juga tahu itu. Makanya, fokus pada pendidikan vokasional, tapi kan tidak bisa seperti membalikan telapak tangan,” ujarnya.