jabarekspres.com, BANDUNG – Kondisi makro ekonomi di Jawa Barat pada triwulan II tahun ini, masih belum menunjukkan tren positif. Kinerja kredit dan aset perbankan pada April-Juni 2017, tercatat mengalami perlambatan pertumbuhan.
”Kredit perbankan di Jabar Mei 2017 tumbuh 8,06 persen. Angka itu lebih rendah daripada pencapaian triwulan I 2017, yaitu 8,40 persen. Utamanya kredit konsumsi dan investasi,” tandas Kepala KPw BI Jabar Wiwiek Sisto Widayat, pada Perkembangan Indikator Makro Ekonomi Terkini di KPw BI JBR lantai 5, Jalan Braga, Kota Bandung, kemarin (7/7).
Dia mengatakan, mayoritas penyaluran kredit perbankan senilai Rp 578,05 triliun, terkonsentrasi pada area berbasis industri. Seiring sejalan dengan itu, perlambatan kredit terjadi pada sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Non-Performing Loans (NPL) kredit UMKM juga tercatat ikut tertekan.
Menyikapi hal itu, perbankan pun harus hati-hati karena secara keseluruhan, NPL mengalami peningkatan. Selain itu, ada beberapa hal yang harus dicermati dan diwaspadai perbankan, yaitu risiko kredit beberapa sektor, utamanya konstruksi dan jasa dunia usaha. ”Kami harus meningkatkan pengawasan perbankan,” tegasnya.
Lain halnya dengan Dana Pihak Ketiga (DPK), yamg total outstanding-nya sekitar Rp 400 triliun. Diungkapkan, pada Mei 2017, perbankan Jabar mencatat pertumbuhan DPK sebesar 8,35 persen, melebihi perkembangan periode tiga bulan sebelumnya, sebesar 8,20 persen.
Sementara itu, pertumbuhan realisasi penerimaan perpajakan hingga semester pertama baru mencapai 9,6 persen dari target Rp 1.489,9 triliun. Basis data pajak dari program pengampunan pajak atau tax amnesty tidak banyak membantu dalam pengumpulan penerimaan.
Dalam RAPBN-P 2017, pemerintah mencoba realistis dengan menurunkan target penerimaan perpajakan Rp 50 triliun menjadi Rp 1.498,9 triliun. Sementara itu, belanja negara justru ditambah Rp 30,9 triliun.
Menko Perekonomian Darmin Nasution menyatakan, jika melihat kinerja semester pertama, target pertumbuhan penerimaan pajak hingga 16 persen akan sulit dicapai. ”Dari situasi itu, pemerintah akan ajukan bahwa APBN-P pertumbuhan penerimaan perpajakan diusulkan 12,9 persen,” kata Darmin di gedung DPR, Jakarta, baru-baru ini.
Mantan gubernur Bank Indonesia (BI) itu melanjutkan, keputusan pemerintah menurunkan target pertumbuhan penerimaan perpajakan tersebut berkaca dari pengalaman di tahun-tahun sebelumnya. Sebagaimana diketahui, realisasi penerimaan perpajakan beberapa tahun belakangan selalu meleset dari target. ”Jadi, memang kami melihatnya lebih baik targetnya diturunkan daripada tetap, tapi tidak tercapai,” ujarnya.