Heri Pemad, Penyelenggara Pameran Seni Rupa ’’Paling Gila’’

Venue pameran masih sama dengan tahun lalu, yakni Jogja National Museum (JNM), kampus ISI Gampingan. Setiap penyelenggaraan, Artjog rata-rata mampu mendatangkan 100 ribu orang. Di antara jumlah tersebut, 20 persen atau sekitar 20 ribu orang datang dari luar negeri.

’’Sedangkan 50 persen pengunjung dari luar kota. Sisanya baru orang Jogja,’’ terang Heri yang siang itu ditemani anjing kesayangannya, Pelog. Si Pelog duduk ndlosor di pojokan sambil mengamati bosnya diwawancarai. ’’Pelog ini usianya sama dengan Artjog,’’ lanjut Heri, lantas tersenyum.

Heri bersama 30 kru manajemen berjibaku siang malam untuk menyiapkan Artjog. Mulai mengumpulkan karya, mencari sponsor, hingga pelaksanaan selama sebulan itu. Mereka andal meng-handle acara seni seperti itu. Mereka tahu cara memperlakukan karya seni rupa. ’’Bagaimana megang karya sampai memasangnya, anak-anak tahu,’’ tegas Heri yang pernah kuliah di Jurusan Seni Murni, Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta.

Pasalnya, karya yang dipamerkan di Artjog bukan sembarangan. Tapi karya seniman-seniman yang, tak jarang, sangat gila. Baik dari sisi bentuk maupun konsep. Pengunjung umumnya akan dibuat terkagum-kagum atau terheran-heran dengan karya yang ditampilkan secara tidak lazim itu.

Proses kreatif Heri dan tim dalam menentukan tema juga tak kalah gila. Bahkan, mereka sampai punya deposito ide. Untuk menentukan konsep besar pameran, mereka memang tidak mengalami kesulitan sama sekali. Sebab, mereka memiliki banyak tabungan ide.

’’Prosesnya intens. Setelah event selesai, kami langsung menyiapkan untuk tahun depannya lagi,’’ jelas seniman peraih penghargaan Adi Karya Rupa 2015 dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sebagai penyelenggara event seni tersebut.

Sangat mengasyikkan dan selalu seru ketika memikirkan Artjog beberapa tahun ke depan. Ide-ide bisa muncul saat bekerja bahkan mengobrol santai sambil berkhayal. ’’Perkara nanti di tengah jalan idenya ganti, ya nggak apa-apa,’’ katanya.

Proses produksi, polanya sama. Melakukan hal yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun, yang paling sulit dan menantang adalah ketika mendisplai karya dan saat pameran berlangsung. Sebab, mereka membutuhkan kompromi luar biasa dengan para seniman yang berpartisipasi. Kalau karya sang seniman sangat besar, sedangkan space terbatas, di situlah mereka dituntut untuk berpikir solutif.

Tinggalkan Balasan