RA, justru sering mabuk dan main perempuan. Saat AN marah, pria yang bekerja se rabutan itu justru berbalik marah. Tidak jarang dia melayangkan pukulan ke wajah AN. ’’Pernah waktu anak masih satu tahun, saya tanya soal selingkuhannya, dia malah mukul muka saya sampai bengkak,’’ kenangnya.
Kini, dengan putri yang berusia 3,5 tahun, dia berniat untuk memulai hidupnya lagi dengan mencari pekerjaan. Dan satu yang pasti, dia tak ingin putrinya mengulangi kesalahannya di masa depan nanti. ’’Nikahnya nanti saja kalau sudah 19 tahun atau 20 tahun,’’ katanya tentang cita-citanya kelak. Kisah SA dan AN menunjukkan anak perempuan di Indonesia belum lepas dari ancaman bahaya pernikahan dini. Di wilayah-wilayah dengan tingkat perekonomian yang buruk, kasus seperti itu sangat barak. Studi yang dilakukan UNICEF dan Badan Pusat Statistik menyebut bahwa 1 dari empat anak perempuan menjadi korban pernikahan usia anak. (selengkapnya baca grafis).
RS, ibu berumur 34 tahun yang kini juga ikut menjadi kader SAPA Institute, tahu benar bagaimana dampak menikah saat usia muda. ’’Saya nikah pas umur 14 tahun. Karena ada om-om umur 33 tahun nyekokin obat dan saya digituin,’’ kenangnya.
Saat itu, dia tak tahu bahwa itu masuk ke kategori pemerkosaan. Yang dia tahu bahwa dia tak suci lagi. Sampai-sampai dia pernah mencoba bunuh diri. Dan di saat itu pula, dia akhirnya dinikahkan dengan pelaku pemerkosaan itu. Alasannya cuma satu, mencegah aib. ’’Suami orang yang berkecukupan tapi batin saya tersiksa,’’ ceritanya.
Kini, RS terus berusaha untuk hidup positif dan menikah lagi. Namun, dia mengaku memendam benci ke putra sulung yang mempunyai wajah mirip dengan suami pertama. ’’Kalau ingat rasanya nggak enak. Saya jadi takut anak saya kayak bapaknya,’’ ungkapnya. Kenangan menyakitkan itulah yang membuat dia aktif di SAPA Institute. Dia ingin pengalamannya tidak dialami anak-anak perempuan lain. ”Menikah di bawah usia 18 tahun bukanlah pilihan yang tepat. Jangan sembarangan mengambil keputusan itu,” tandasnya.