Masalah demi masalah kemudian bertubi-tubi datang. Karena latar belakang ekonomi kedua keluarga yang tak mampu, SA enggan memeriksakan kandungan. Setelah beberapa bulan dibujuk sang kader, barulah dia berangkat untuk melakukan USG. Tapi, setelah diperiksa justru dokter menemukan bahwa SA sudah mengalami pembukaan dan harus segera disiapkan untuk bersalin.
Lagi-lagi, dia dibantu agar operasi bisa dilakukan tanpa biaya. Karena BPJS yang dimiliki ditolak setelah SA tak bisa menyediakan surat nikah. Menyediakan uang sebanyak Rp 12 juta untuk operasi juga bukan hal memungkinkan. Sang suami kini hanya bekerja sebagai pengantar galon dengan bayaran Rp 1.000 per galon. Bapak SA bekerja serabutan sedangkan ibu bekerja di pabrik tekstil dengan bayaran Rp 150 ribu per minggu.
Kalau saja tidak ada bantuan dari SAPA Institute, nyawa SA bisa saja tidak tertolong. Soal masa depan, SA hanya bisa bilang gimana nanti wae. Pun demikian dengan bagaimana membesarkan anaknya yang belum dikasih nama itu. ’’Ya nanti dibantu sama ibu,’’ ucapnya pasrah.
Yang mungkin tak disadarinya, bagaimana kehidupannya bakal berubah dalam beberapa tahun ke depan. Apa yang mungkin disebut cinta remaja bisa jadi gubuk derita.
Tidak kalah memilukan kisah AN. Baru berusia 20 tahun, dia sudah menyandang status janda. Dia cerai dua pekan lalu.
AN memutuskan menikah dengan RA, tetangganya, empat tahun lalu. Ketika usianya masih 16 tahun. Saat itu, dia merasa RA merupakan jodohnya. Setelah pacaran satu tahun, dia merasa sudah sewajarnya hubungan itu masuk ke jenjang pernikahan.
’’Pikiran saya waktu itu nikah saja soalnya sudah capek kerja. Saya mikirnya suami nanti bakal lurus soalnya berani ngelamar,’’ ungkapnya lirih. Tapi keberanian RA melamar AN tidak dibarengi niat dan kesungguhan untuk membangun keluarga yang bahagia. Pria yang lebih empat tahun dari AN itu malah membuat sengsara kehidupan sang istri. Daripada membahagiakan dan memenuhi kebutuhan hidupnya.