Nugroho Imam Setiawan, Dosen Geologi UGM Peneliti Antartika

Sudah lebih dari tiga bulan Nugroho Imam Setiawan meninggalkan tanah air dan keluarga. Bersama tim geologi Jepang, dia menjadi satu-satunya peneliti asal Indonesia yang diajak bergabung untuk melakukan penelitian di Antartika.

TRI MUJOKO BAYUAJI, Jakarta


”Melihat langsung lautan es, penguin, paus, anjing laut, dan batuannya sungguh menakjubkan. Saya seakan-akan berada di planet lain di luar bumi.” Demikian Nugroho mengekspresikan kesan pertamanya saat melihat Antartika, tempat terdingin di muka bumi, dengan suhu rata-rata minus 89 derajat Celsius.

Nugroho masih ingat betul tanggal 2 Desember 2016. Itulah hari pertamanya bergabung dengan tim geologi Japanese Antarctic Research Expedition (JARE), yang hendak melakukan ekspedisi penelitian di benua es yang terletak di kutub selatan tersebut.

Setelah tiga bulan berlalu, saat ini Nugroho masih berada di kapal Shirase, kapal ekspedisi JARE, untuk perjalanan pulang dari Antartika. Saat Jawa Pos (Jabar Ekspres Group) melakukan wawancara via e-mail dengan Nugroho, Shirase tengah mengarungi laut di selatan Pulau Tazmania. ”Semoga kami bisa sampai di Pelabuhan Sydney 20 Maret nanti (hari ini, Red),” kata Nugroho menyapa Jawa Pos.

Melalui e-mail-nya, pria 34 tahun itu tampak bersemangat menceritakan pengalamannya selama di Antartika. Kesempatan langka tersebut sejatinya sudah didapat pada 2011, tapi tertunda hingga hampir enam tahun lamanya. Ketika itu Nugroho tengah menyelesaikan program doktoral atau S-3 di bidang earth and environmental sciences division di Universitas Kyushu, Jepang. Nugroho saat itu mendaftar untuk ikut ekspedisi JARE.

Setelah mengikuti seleksi tulis dan wawancara, Nugroho dinilai punya kemampuan layak untuk ikut dan terlibat dalam ekspedisi JARE ke Antartika. Perasaan bangga sekaligus senang dirasakan Nugroho. Namun, kegembiraan itu tertunda. Nugroho mendapat kabar bahwa ekspedisi JARE ke Antartika harus diundur gara-gara situasi di Jepang pada saat itu. ”Waktu itu bertepatan dengan musibah gempa bumi, disusul ledakan pembangkit listrik tenaga nuklir di Fukushima,” cerita Nugroho.

Sampai Nugroho lulus meraih gelar doktornya pada 2013, tidak pernah ada kabar kelanjutan ekspedisi tersebut. Namun, dua tahun kemudian, JARE memberikan informasi melalui surat elektronik bahwa kegiatan ekspedisi akan dilaksanakan pada 2016–2017. ”Saya dimintai konfirmasi apakah bersedia terlibat, langsung saya sanggupi,” kata bapak Kaira Hikaru Setiawan dan Rafardhan Antareja Setiawan itu.

Tinggalkan Balasan