Kegigihan Nissa dan Ibang Merintis Pesantren “Ekologi” Ath Thaariq di Garut

Paling tidak, pengakuan itu tidak hanya datang dari kalangan pertanian dalam negeri. Sejumlah peneliti asing juga menyatakan ketakjuban mereka. Misalnya, yang pernah diungkapkan peneliti dari Thailand dan Filipina yang secara khusus ”mondok” di Pesantren Ath Taariq untuk menimba ilmu agroekologi.

Agroekologi adalah sebuah sistem yang memanfaatkan keragaman hayati untuk mendukung pertanian. Misalnya, untuk melawan hama tikus, para santri membiarkan predator tikus seperti ular untuk berkembang di lingkungan pesantren.

Menurut Nissa, selama ini pesantren tidak pernah membasmi hama dengan bahan kimia. ”Biarkan saja rumah-rumah ular itu ada. Biar ular-ular itu nanti yang memangsa hama tikus,” katanya santai. Dengan cara begitu, ekosistem di lahan pertanian itu pun tetap terjaga.

Berkat keyakinan dan perjuangannya menjaga ekosistem pertanian selama ini, Nissa mendapat apresiasi dari pegiat dunia pertanian. Belum lama ini, dia memperoleh beasiswa belajar A-Z Agroecology and Organic Food System Course dari Dr Vandana Shiva, salah seorang ilmuwan dan aktivis lingkungan dengan reputasi internasional asal India. Dia juga turut serta dalam Bhoomi Festival di New Delhi dan The Soil Yatra di Indore serta Nagpur, India.

Selama perbincangan berlangsung, Nissa menyuguhkan teh herbal Nusantara, salah satu produk olahan dari hasil bertani para santri.

Selain hama, pupuk yang digunakan di Ath Taariq menihilkan campuran zat kimia. Pupuk untuk mengelola kebun harus organik. Dibuat dari kotoran hewan ternak. Karena itu, mereka tidak pernah membeli pupuk.

Menurut Nissa, cara itu sudah lama dipraktikkan keluarganya sejak kakek-neneknya masih hidup. ”Tanpa bahan kimia, mereka bisa. Tanamannya tumbuh subur,” ujarnya.

Terbukti, hingga saat ini, Pesantren Ath Thaariq masih memiliki benih tanaman organik seperti labu kiku, labu air, bayam paris, bayam rambat, kenikir, baligo, tomat cherry merah, tomat terendel, tomat kembang, sorgum, bunga rosela merah, bunga rosela hitam, dan emes.

Ada pula ruku-ruku, padi ciherang, padi rojolele, padi sarinah, padi sanggarung, beras merah, cengek japlak, cengek gunung, cengek domba, serta cabai bali.

Semua bibit itu bisa ditanam dan tumbuh subur di lahan pertanian Pesantren Ath Thaariq. Bahkan, kualitas beras yang dihasilkan dari tangan-tangan santri sangat baik. ”Kami kombinasikan berbagai bibit, kemudian kami tebar sehingga saling menguatkan,” jelas Nissa.

Tinggalkan Balasan