Nama Aceh harum di Georgetown, Penang, Malaysia. Sebab, saudagar asal bumi Serambi Makkah bernama Tengku Syed Hussein tercatat sebagai penggagas perkampungan muslim di kota pelabuhan itu pada 1808. Jejak sejarahnya masih utuh sampai sekarang.
Laporan DHIMAS GINANJAR dari Penang
SUASANA kompleks Masjid Melayu di Jalan Lebuh Acheh Rabu siang (1/2) itu terlihat sepi. Sebagai objek wisata warisan budaya Malaysia, Masjid Melayu tak dikunjungi banyak turis. Pamornya kalah oleh Masjid Kapitan Keling yang berjarak lima menit jalan kaki dari tempat itu. Bisa jadi, karena Masjid Melayu tidak menawarkan keindahan arsitektur modern. Apalagi, tambahan atap saat perluasan masjid justru menutupi keelokan bangunan lawasnya.
Siang itu hanya ada tiga orang di dalam masjid yang sedang melakukan kajian Alquran. Sedangkan di serambi ada dua pria sepuh yang tengah duduk santai dan beberapa lainnya tidur di lantai.
Salah seorang pria lanjut usia itu adalah Mochamed bin Yahya, 79. Dia adalah sosok yang dituakan oleh komunitas muslim Pulau Penang. Mochamed merupakan generasi kelima yang tinggal di kompleks Masjid Melayu dengan beberapa rumah lawas di sekitarnya.
’’Dari dulu daerah ini sudah dijuluki Malay muslim enclave (pusat kantong muslim Melayu, Red) oleh British (Inggris, Red),’’ ujar Mochamed.
Sebagai pensiunan guru SD, dia punya ikatan yang kuat soal pengetahuan. Karena itulah, jamaah masjid merujuk dia untuk menggali informasi tentang Penang.
Mochamed menceritakan, Masjid Melayu dahulu dibangun Tengku Syed Hussein, pedagang peranakan Arab yang cucu sultan Aceh. Dia diminta Kapten Francis Light dari East India Company (EIC) yang membuka trading post pada 1786 untuk ikut menggairahkan perekonomian Pulau Penang.
Syed Hussein dipilih karena dikenal sebagai pengusaha yang sukses dalam berbisnis melalui perkapalan. Salah satu komoditasnya rempah-rempah dari Nusantara. ’’Dulu pulau ini juga menjadi transit bagi jamaah haji yang pergi dengan menggunakan kapal,’’ terangnya.
Sebagai kota transit, Pulau Penang sebenarnya ramai sejak dulu. Bahkan, di pulau seluas 293 km persegi tersebut juga sudah ada warga muslim dari Brunei maupun Indonesia zaman itu. Syed Hussein dan keluarga besarnya yang pindah ke Penang pada 1792 diberi keistimewaan oleh Inggris. Termasuk, boleh menerapkan hukum syariah di komunitasnya.