Perjuangan Prof Wayan Windia Bersama Petani Lestarikan Subak di Bali

Nasib subak di Bali kini terancam meski sudah meraih penghargaan sebagai warisan dunia dari Unesco pada 2012. Salah satu penyebabnya, lahan pertanian menyempit karena alih fungsi jadi hunian. Prof Wayan Windia pun berupaya keras melestarikannya.

JUNEKA SUBAIHUL MUFID, Denpasar

HUJAN deras mengguyur saat mobil yang dikendarai Prof Wayan Windia keluar dari kampus Pascasarjana Universitas Udayana Bali. Selasa sore itu (29/11), Windia mengajak Jawa Pos (Jabar Ekspres Group) melihat langsung lahan persawahan yang menjadi proyek percontohan pelestarian sistem pengairan teratur oleh rakyat Bali (subak) di sekitar Denpasar. ”Sepekan terakhir hujan tidak sederas ini. Tentu ini berkah bagi petani subak,” ujar Windia di balik kemudi.

Sambil menyetir, pria yang menjabat kepala Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana itu begitu antusias menceritakan kondisi subak di Pulau Dewata tersebut.

Subak yang meraih anugerah sebagai warisan dunia dari Unesco pada 2012 perlu perhatian serius. Bahkan, badan PBB untuk pendidikan, keilmuan, dan budaya itu sudah dua kali menegur karena subak kurang terawat Merujuk data yang dimiliki Windia, tiap tahun 750 hektare dari total 80 ribu hektare pertanian subak beralih fungsi. Lahan pertanian tersebut menjadi hunian dan kawasan bisnis di tengah arus pariwisata Bali yang terus menggeliat. ”Subak di Bali sedang sakit,” ucapnya. Padahal, sistem subak yang mengimplementasikan prinsip Tri Hita Karana (THK) menjadi penyokong kelestarian alam di Bali. Prinsip THK mencakup hubungan yang harmonis antara parahyangan, palemahan, dan pawongan. Yakni hubungan manusia dengan Tuhan, alam, dan sesama manusia.

Secara lebih detail, konsep parahyangan ditunjukkan dengan adanya satu atau lebih Pura Bedugul di kawasan subak. Bahkan, ada pula sanggah catu (bangunan suci) yang ditempatkan di sekitar bangunan sadap (intake) di setiap blok atau kompleks persawahan. Setiap aktivitas petani selalu dimulai dengan upacara. Misalnya upacara menak toyo alias menjemput air yang mengawali musim tanam. ”Total ada 16 kali upacara dalam satu musim,” ujar pria kelahiran Gianyar, 15 Desember 1949, itu.

Konsep palemahan ditunjukkan dengan kepemilikan wilayah pada sistem subak. Sementara itu, konsep pawongan ditunjukkan dengan keberadaan petani dan organisasinya. Ada pula awik-awik (aturan tertulis) yang mengatur teknis pengelolaan subak. Contohnya, satu sawah hanya memiliki satu pintu masuk dan satu pintu keluar air. Ada iuran dan sanksi bagi yang melanggar. ”Yang tidak datang pertemuan di balai subak juga kena denda, bergantung kesepakatan,” kata Windia.

Tinggalkan Balasan