Mako yang Seram, Ciku Kecil yang Menakutkan

Klasifikasi atau pembagian barak di Mako berdasar keahlian para tapol. Ada barak bagi tapol yang pandai di bidang mebel, pertukangan, insinyur, pengairan, senirupa, dan dapur. Diro, sesuai keahliannya, menempati barak mebel. Sastrawan Pramoedya Ananta Toer ditempatkan di barak seni rupa.

”Karena memang tidak ada barak khusus sastra buat orang seperti Pak Pram (Pramoedya Ananta Toer). Akhirnya, dia digabungkan di barak seni rupa,” ucap bapak empat anak itu.

Yang lebih menderita, untuk makan, para tapol di Mako harus menunggu pemberian dari unit-unit. Sebab, di Mako tidak ada sawah dan ladang yang bisa digarap seperti halnya di unit. Karena itu, hidup mereka bergantung kesadaran unit-unit untuk menyetor hasil pertanian dan perkebunannya.

”Kelihatannya ringan tidak harus berpanas-panas menggarap sawah dan ladang. Tapi, bagi tapol yang ditempatkan di Mako, justru terasa berat. Sebab, setiap saat gerak-gerik kami diawasi para komandan Buru,” tutur Diro.

Meski berbeda barak dengan Pram -panggilan Pramoedya Ananta Toer- saat berada di Mako, Diro termasuk tapol yang bisa intens berkomunikasi dengan sastrawan besar itu. Contohnya, ketika Diro akan menikah dengan istrinya saat ini, Magdalena Lie. Diro meminta masukan kepada Pram soal calon istrinya tersebut. Sebab, Lie adalah warga Tionghoa. Keluarganya sudah lama menetap di Kayeli Buru.

”Pak Pram tanya kepada saya kenapa pilihan saya cukup berani buat menikahi warga lokal. Saya jawab, kalau warga lokal doyan sagu, sedangkan kalau kawin dengan anak tapol harus kasih makan beras,” kenang Diro.

Setelah tanya jawab itu, Pram memeluk Diro, memujinya pintar, dan memberikan restu buat pernikahan itu. ”Padahal, sebelumnya Pak Pram nggoblok-nggoblokne saya. Sebab, ketika beliau tanya apakah saya punya pikiran kembali ke Jawa, saya bilang tidak,” ucap Diro, lalu terkekeh.

Selama menjalani masa pengasingan di Mako, ungkap Diro, pekerjaan Pram sehari-hari hanya menulis dan menulis. Aktivitas itu dia rintis sejak masih tinggal di Unit III Wanayasa. Saat itu, dia menulis dengan menggunakan sobekan-sobekan kertas bekas bungkus semen. Namun, di Mako, dia mendapat fasilitas mesin ketik yang disediakan penguasa.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan