Aher-Netty Ajak Wujudkan Sekolah Ramah Anak

Dia menyampaikan, di Jabar, mengacu pada data Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (BP3AKB) Provinsi Jawa Barat, kekerasan seksual pada anak yang terjadi di Jawa Barat selama 2015 mencapai 778 orang. Jumlah itu menurun dari kejadian selama 2014 yang mencapai 1.181 orang. Kemudian, berkaitan dengan kasus anak yang berhadapan dengan hukum, sesuai kondisi di Lapas anak Sukamiskin terdapat 160 anak yang berhadapan dengan hukum.

Berkaitan dengan hal itu, Pemprov Jabar concern dalam upaya perlindungan anak. Selain itu, melalui anggaran fungsi pendidikan juga terus menggulirkan program BOS, beasiswa, pembangunan ruang kelas baru, dan lain-lain. Sehingga anak-anak dari keluarga yang tidak mampu secara ekonomi tidak terjerumus ke jalanan, kenakalan remaja, pekerja atau eksploitasi anak. Melainkan dapat tetap melanjutkan sekolah hingga jenjang perguruan tinggi sekalipun.

Pendidikan bagi anak-anak ini menjadi prioritas utama selain pembangunan kesehatan dan daya beli. Sebab, melalui pendidikanlah akan tercipta sumberdaya manusia yang memiliki kompetensi, daya saing dan mandiri. Lebih jauhnya lagi, anak-anak tak hanya disekolahkan dan diberi kasih sayang, tetapi juga harus diberikan lingkungan yang ramah untuk tumbuh kembang fisik dan mentalnya.

Ajakan mewujudkan sekolah ramah anak (SRA) juga disampaikan Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberyaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jabar Netty Heryawan. Sebagai jawaban dari keprihatinan terhadap banyaknya kekerasan yang dilaporkan. Mirisnya kekerasan ini masih banyak terjadi di lingkungan pendidikan. ”Oleh karena itu, kita perlu menyepakati sekolah di Jabar harus jadi ruang yang aman, layak dihuni anak,” tegas Netty.

Kondisi itu, kata Netty, dirasa sangat urgent. Sebab, begitu banyak anak yang mudah stres tertekan dengan padatnya pelajaran. Sementara di rumah, mereka tidak menerima yang mereka butuhkan. ”Luar biasa bosan (bored), lonely (kesepian), angry (marah). Situasi seperti ini sulit dilalui anak. Kecuali anak dapat ruang yang ramah,” urainya.

Dia menilai, tidak semua orang tua memiliki kesiapan menjadi orangtua. Bahkan, tidak sedikit yang memandang, anak bukan sebagai amanah, tapi anak kebobolan. Sehingga orang tua menggunakan bahasa otoritatif.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan