LSU Tentukan Sertifikasi Hotel Bintang dan Non Bintang

”Penilaian itu datangnya dari Lembaga Sertifikasi Usaha (LSU) yang mengauditnya,” tukas Iwan. LSU untuk hotel di Bandung, direkomendasi Kementerian Pariwisata, melalui Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 53 tahun 2013. Peraturan tersebut menggugurkan aturan sebelumnya, Permen Nomor 3 tahun 2002, yang menunjuk PHRI sebagai penentu sertifikasi.

Untuk mengedukasi para pengusaha hotel di Kota Bandung, sambung Iwan, agar mampu menyesuaikan fasilitas dan pelayanan hotel sesuai standar yang ditetapkan LSU.

Iwan menuturkan, berlakunya peraturan sertifikasi hotel, merubah keberadaan kelas hotel melati. Sehingga, klasifikasi menetapkan hanya ada hotel berbintang dan hotel nonbintang.

”Itu agar semua hotel dapat menyesuaikan kelas usahanya supaya dapat lebih tepat menempatkan kelas,” ujarnya.

Dia menjelaskan, terdapat lima nilai yang akan diberikan. Poin 01 untuk nilai kurang. Nilai 04, mengartikan sangat bagus, hingga nilai  05 yang berarti nyaris terbaik.

”Untuk penilaian papan nama hotel, auditor juga berikan penilaian. Bila papan nama itu tidak begitu terlihat, dan terbuat dari bahan yang tidak berkualitas, maka tentu nilainya poin satu, yang berarti kurang. Tapi, kalau papan nama hotel besar, dapat terlihat jelas, bahkan terbuat dari bahan berkualitas dan miliki penerangan yang bagus, tentu nilainya tinggi,” ucap Iwan.

Iwan memerinci, pada kelas hotel bintang lima, terdapat unsur yang perlu dipenuhi. Baik dari standar papan nama, lift dan tangga, jumlah kamar, kualitas kamar, pelayanan, ataupun CCTV.

Begitu pula pada kelas hotel bintang empat terdapat unsur yang harus dipenuhi mengacu pada standarisasi sertifikasi.

Iwan mencontohkan, bila selama ini terdapat hotel di Kota Bandung, yang berkelas bintang lima, maka akan diperjelas lagi, apa saja fasilitas hotel bintang lima yang sudah dipenuhi. ”Hotel bintang lima itu paling tidak harus ada lounge. Meski tak menyediakan minuman beralkohol atau paling tidak bisa maksimal dalam penyediaan fasilitas lounge itu. Paling tidak harus memenuhi komponennya,” ujar Iwan.

Tetapi, jika suatu hotel bintang lima yang memiliki kamar hingga 200 ruangan, maka hotel itu wajib menyiapkan kamar khusus untuk disabilitas.

Sementara itu, fasilitas kuliner, harus memiliki restoran yang tematik. Yaitu, restoran yang memiliki kelengkapan dan kemewahan, yang memiliki spesialisi. ”Seperti tersedianya masakan khas Sunda, Eropa, atau yang lainnya,” pungkas Iwan. (edi/fik)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan