Putri Kuswisnu Wardani tentang Industri Berbasis Budaya
Meskipun tidak termasuk industri utama, kosmetik tidak bisa dipandang sebelah mata. Kebutuhan akan produk tersebut tidak pernah surut.
—
SEBAGAI pelaku utama di bisnis kosmetik, Putri Kuswisnu Wardani, presiden direktur Mustika Ratu, menilai industrinya masih kurang dilindungi regulasi yang berpihak.
”Kosmetik impor bisa masuk tanpa melalui proses verifikasi. Sementara sektor lain harus melalui proses itu,” kata Putri kepada Jawa Pos (induk Bandung Ekspres) di Sultan Hotel, Jakarta, Jumat (12/2).
Hal tersebut berdampak besar pada industri kosmetik nasional. Bayangkan saja, dari seluruh kosmetik yang beredar di tanah air, hanya 30 persen yang merupakan produk asli Indonesia. Sisanya merupakan barang impor. Baik yang legal maupun selundupan. Hal itu berdampak langsung bukan hanya pada para pelaku industri, tapi juga pemerintah dan konsumen.
Pelaku industri kosmetik nasional sudah pasti dirugikan. Produk mereka dipandang sebelah mata karena konsumen cenderung lebih percaya pada produk impor. Pemerintah pun dirugikan karena tidak semua kosmetik impor masuk melalui jalur yang benar. ”Kerugian pajak pasti dialami pemerintah,” tutur ketua Dewan Pembina Yayasan Puteri Indonesia tersebut.
Dengan masuknya kosmetik tanpa verifikasi, jaminan keamanan dan keselamatan konsumen pun menjadi tidak ada. Izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang menjadi acuan keamanan produk pun belum tentu tercantum dalam kosmetik-kosmetik tersebut. Akibatnya, tidak sedikit konsumen yang menjadi korban.
Perempuan yang menjabat ketua bidang ekonomi kreatif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) itu mengatakan pernah mendapat laporan dari seorang dokter kulit yang menangani pasien korban kosmetik impor. Pasien tersebut terpaksa dirawat inap karena mendadak sesak napas setelah menggunakan produk pemutih impor yang dibelinya secara online.
”Ada beberapa kandungan kosmetik tertentu yang memang terlalu besar. Tidak ada izin BPOM juga,” cerita putri BRA Mooryati Soedibyo, pendiri Mustika Ratu, itu.
Jika kondisi tersebut terus-menerus dibiarkan, bukan tidak mungkin industri kosmetik Indonesia bisa luluh lantak tergilas serbuan produk impor. Kondisi itu sangat jauh berbeda dengan ketika Putri kali pertama turut terjun ke industri kosmetik. Kala itu, pada 1985, kosmetik dalam negeri masih bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Dia mengatakan, waktu itu hanya ada Viva dan Mustika Ratu. Viva menjangkau pasar menengah ke bawah, sedangkan Mustika Ratu di pasar menengah atas.