Yadi mengatakan dalam mengisi konten tayangannya, TV masih mengacu pada rating. Pengukuran rating itu di antaranya disajikan oleh lembaga periset rating Nielsen. ”Sementara selama ini tayangan yang ratingnya tinggi tidak lepas dari konten atau isi kriminalitas dan seks,” ujarnya. Sehingga ketika ada TV yang berupaya mengejar rating-nya.
Ketika TV-TV Indonesia mati-matian mengejar rating, yang berdampak pada iklan itu, maka seruan dari masyarakat maupun pemerintah bakal susah di dengar. Selain itu kontrol dan fungsi pengawasan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga bakal tumpul. Satu tayangan divonis KPI tidak boleh tayang, maka akan muncul tayangan sejenis dengan nama dan wujud baru. Tetapi isinya sama, karena bisa mengatrol rating TV bersangkutan.
Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur Bidang Struktur Penyiaran Muhammad Dawud mengatakan dampak dari TV dan radio itu ada dua. ”Bikin masyarakat cerdas atau malah membuat publik lebay,” katanya. Hasil penelitian mereka, tayangan TV pada umumnya masih banyak yang di bawah standar. Sehingga untuk mewujudkan masyarakat cerdas melalui tayangan TV, masih butuh upaya ekstra.
Terkait usulan Presiden Jokowi supaya ada tayangan lagu-lagu nasional di jam-jam prime time, dia menyambut baik. Tapi baginya tayangan yang bisa menumbuhkan rasa nasionalisme, cinta tanah air, dan perekat bangsa tidak sebatas simbolisasi lagu-lagu nasional.
Melalui tayangan yang populer juga bisa, asalkan isinya bermutu dan sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan. Tidak melulu disi sinetron yang mengumbar hura-hura, kekerasan, dan sejenisnya.
Dalam peringatan HPN kemarin, sejumlah MoU berkaitan dengan pers. Di antaranya, MoU kewirausahaan dan koperasi bagi wartawan, peningkatan kompetensi, hingga pelatihan jurnalistik kepariwisataan. Beberapa menteri ikut menandatangani MoU tersebut, seperti Menpar Arief Yahya dan Menteri Koperasi dan UKM AAGN Puspayoga. (byu/wan/rie)