Sementara itu, terkait dengan analisis bahwa Tiongkok berpotensi masuk jebakan ekonomi kelas menengah (middle income trap), banker yang bersama Liem Sioe Liong membesarkan Bank Central Asia (BCA) itu menyatakan, kecil kemungkinan ancaman middle income trap, kondisi di mana sebuah negeri gagal lepas landas menjadi negara maju, pada Tiongkok menjadi kenyataan.
”Sebab, ekonomi Tiongkok tidak bergantung besarnya industri manufaktur saja, tapi juga sudah masuk industri teknologi informasi (TI). Jadi, kelasnya sudah lebih tinggi,” ujarnya.
Menurut Mochtar, industri berbasis TI paling kebal krisis. Dia mencontohkan, ketika ekonomi Amerika Serikat limbung dihajar krisis subprime mortgage pada 2008, hampir semua industri ikut sempoyongan, kecuali industri TI. Sebab, kebutuhan dunia terhadap TI terus naik. Karena itu, Microsoft, Intel, dan perusahaan lain tetap menangguk untung segunung. ”Setiap pagi, ketika kita membuka komputer atau HP, berarti kita bayar ke Intel atau Microsoft,” sebut dia.
Demikian pula industri digital semacam situs online Amazon, jejaring sosial Facebook, mesin pencari Google, dan masih banyak lagi yang bukannya surut, tapi justru terus melesat. ”Hebatnya Tiongkok, mereka mengembangkan teknologi serupa. Bahkan, banyak di antaranya yang kini lebih besar daripada perusahaan di Amerika,” katanya.
Di bidang teknologi cip komputer, dominasi Intel diproyeksikan akan digerogoti Huawei yang kian inovatif dan agresif. Untuk menyaingi Amazon, Tiongkok punya Alibaba yang kini lebih raksasa. Sistem bisnis Facebook dan Google pun disaingi Weibo dan Baidu.
Meski demikian, lanjut Mochtar, Indonesia masih punya banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan. Salah satu yang utama adalah ekonomi biaya tinggi. ”Di era kompetisi, ini menjadi titik lemah produk Indonesia.”
Sosok yang kini getol membangun rumah sakit dengan bendera Siloam Hospitals di berbagai wilayah Indonesia itu menyebut, high cost economy (ekonomi biaya tinggi) muncul karena dua faktor. Yakni, berbelitnya birokrasi atau regulasi dan minimnya infrastruktur.
Mochtar menyebut, jika langkah deregulasi untuk memangkas berbelitnya perizinan investasi dan pembangunan infrastruktur konsisten dilakukan pemerintah dalam beberapa tahun ke depan, iklim investasi akan meningkat signifikan serta menjadi landasan bagi ekonomi untuk melesat lebih tinggi.