Mengintip Kesehatian Para Pawang dan Gajah di Taman Nasional Way Kambas
Butuh waktu tiga bulan buat pawang baru agar bisa memahami benar gajah. Pada hari-hari pertama, pasti mengalami ditendang atau diseruduk dulu. Begitu sudah dekat, saat si pawang sedih pun, si gajah akan berusaha menghibur.
LUSIA ARUMINGTYAS, Lampung
—
PADA detik-detik genting itu, yang ada di benak Ali Hendra hanya bayangan kematian. Sebab, di atas badannya yang tengah telentang tak berdaya berdiri Salmon, gajah berbobot 2,7 ton. Sekali injak, tubuhnya pasti tak akan mampu menanggung lagi.
Tapi, Salmon, yang sebelumnya begitu agresif dengan menendang Ali sampai jatuh, tiba-tiba terdiam. Perlahan ia menarik badannya dari atas tubuh sang pawang. Ali pun bangun. Salmon yang telah patuh lagi itu segera bisa dia kendalikan lagi.
”Sejak saat itu, kalau Salmon lagi berahi, saya gembalakan bareng-bareng yang lain,” kenang Ali tentang pengalaman beberapa tahun silam tersebut sembari menunjukkan bekas luka di tangan dan pelipis.
Trauma memang masih tersisa, tapi sama sekali tak ada dendam. Bagi pria yang akrab disapa Abah itu, gajah tipe petarung tersebut tetaplah belahan jiwanya. Dua dekade sudah dia merawat Salmon, mulai bangun tidur sampai ketika gajah berumur 21 tahun itu harus tidur lagi.
”Kisah cinta” serupa Abah-Salmon itu dengan gampang bisa dijumpai di tiap sudut Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Lampung. Ada 63 gajah yang hidup bersama para pawang dalam jumlah sama. Hidup bersama dalam 10-24 jam
”Kalau pagi, jam tujuh kami sudah datang. Kalau kami piket, ya 24 jam bersama (gajah, Red),” jelas Koordinator Pawang TNWK Mahfud Handoko.
TNWK merupakan gerbang konservasi gajah di Indonesia. Luas area khusus kandang gajah mencapai 4 hektare. Terbagi dua, kandang anakan dan gajah dewasa yang dipisahkan oleh aliran sungai.
Tak ada jeruji besi. Hanya ada tanah lapang dengan patok besi untuk menyangkutkan rantai. ”Setiap gajah satu patok. Tidak ada ukuran tertentu,” kata Mahfud.