Hendriyadi Bahtiar, Penggerak Sahabat Pulau dan Desa-preneur

Sahabat Pulau juga melahirkan desa-preneur. ”Harapan saya, setidaknya di masing-masing provinsi yang telah ada Sahabat Pulau juga berdiri desa-preneur,” ungkpanya.

Atas semua kerja kerasnya itu, Hendriyadi pun diganjar penghargaan dari PGRI kerja bareng Telkom Indonesia. Penghargaan tersebut diserahkan di Jakarta pada Minggu lalu (13/12).

Jalan yang ditempuh Hendriyadi untuk bisa sampai di tempatnya sekarang sungguh tidak mudah. Lahir dari keluarga pas-pasan secara ekonomi, sejak SD, Hendriyadi kecil terbiasa mencari tambahan uang.

Mulai menjual kue dan jajanan di kampung maupun sekolahnya hingga menjadi pemecah batu pun pernah dijalaninya. Bahkan, saat SMA, seluruh biaya sekolah sudah harus dipikirkan dan ditanggung sendiri.

Kondisi tersebut bukan jadi alasan membuatnya lemah. Tapi, justru jadi pemicu agar bisa berprestasi. Keberhasilannya meraih juara umum di bidang akademis sekaligus siswa teladan saat SMA lebih didasari upaya untuk mendapat fasilitas bebas biaya SPP.

Begitu juga saat lulus SMA pada 2007. Tekad yang besar untuk meneruskan ke perguruan tinggi mendorongnya untuk mencoba berbagai pintu.

Karena tak kunjung mendapat program beasiswa, dia sempat berancang-ancang menunda kuliah untuk tahun berikutnya sambil bekerja. Surat lamaran sebagai penjaga rumah makan hingga cleaning service salah satu mal di Makassar telah pula dia kirim.

Namun, nasib telah ditentukan. Pemberitahuan bahwa dia terpilih sebagai recipient hibah beasiswa salah satu bank swasta akhirnya datang. Meski demikian, kerumitan muncul.

Hasil SPMB (seleksi penerimaan mahasiswa baru) yang telah lebih dahulu menetapkan Hendriyadi lolos di Jurusan Kimia Universitas Negeri Makassar (UNM) ternyata tidak masuk dalam program studi untuk di-cover. Bidang ilmu yang di-cover beasiswa tersebut hanya ekonomi, teknologi informasi, dan hukum.

Alternatifnya, dia kemudian harus masuk universitas swasta agar tetap bisa memanfaatkan beasiswa tersebut. ”Bingungnya minta ampun waktu itu. Sebab, di Makassar, saya tahunya hanya Unhas (Universitas Hasanuddin, Red) atau UNM. Kalau swasta berkualitas, saya belum banyak tahu,” kisahnya.

Tawaran untuk memilih kampus swasta di Jakarta akhirnya disampaikan pendonor. ”Nah, tambah bingung lagi. Tapi, akhirnya saya menyebut begitu saja nama kampus Trisakti. Hanya karena teringat peristiwa penembakan mahasiswa saat reformasi,” tuturnya, lantas tertawa.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan