[tie_list type=”minus”]Romantisme Jawa Pos dan Persebaya [/tie_list]
MENULISKAN segala hal yang lampau tentang perkembangan sepak bola di Indonesia itu ngeri-ngeri sedap. Bukan tanpa apa, sebabnya betapa sulit merunutkan dan menuturkan sejarah itu secara benar. Pengarsipan yang buruk jadi pangkalnya.
Mengandalkan ingatan-ingatan saksi mata malah bisa membuat kita celaka. Memori terkadang tak bisa merincikan hal-hal detail. Dalam konteks waktu, tempat ataupun runtutan kejadian. Apesnya setiap orang terkadang punya pengakuan berbeda. Belum lagi ditambah opini yang entah itu tepat atau tidak.
Untuk mencari jawaban solusinya, ya kembali mengubek-ngubek arsip dan kliping lawas. Ini satu-satunya jalan agar ingatan dan kenyataan itu bisa diselaraskan. Laporan khusus edisi kali ini menitikberatkan pada dua hal itu. Kliping dan pengakuan pelaku sejarah.
Semua mantan awak redaksi Jawa Pos geleng-geleng saat disodorkan pertanyaan-pertanyaan detail asal muasal keterikatan koran ini dengan sepak bola Surabaya, khususnya Persebaya.
Setelah Persebaya juara nasional pada 1976, prestasi mereka makin menukik. Pada kompetisi perserikatan 1985, malah duduk di peringkat sembilan dari sepuluh kontestan. Sang adik, Niac Mitra pun sama. Digdaya di awal Galatama dekade 1980-an. Memasuki tahun 1985, prestasi mereka sama seretnya.
Syahdan, Dahlan Iskan dan Wali Kota Surabaya dr Poernomo Kardisi pun turun tangan. Berembuk dengan stakeholder memikirkan cara sepak bola Surabaya supaya bangkit berjaya. Disepakatilah Jawa Pos mengambil peran dalam bentuk pemberitaan di media.
”Awalnya posisi Jawa Pos itu menjadi pengkritik Persebaya. Apalagi terjadi kekisruhan pengurus saat itu,” kata Dahlan Iskan. ”Tapi, dikritik keras, digebuki setiap hari tidak membuat Persebaya lebih baik,” lanjutnya.
Nah, karena itu, dimulailah pendekatan yang berbeda. ”Lantas saya ingat teori pendidikan. Orang itu kalau dimarahi terus tambah tertekan. Maka kita coba cara lain, diberi kebanggaan,” kata mantan Menteri BUMN tersebut.
Jawa Pos memang bukanlah media cetak pionir yang memberi ruang untuk pelaku dan pendukung sepak bola seluas-luasnya. Koran Pikiran Rakyat di Bandung dan Analisa di Medan melakukannya lebih dulu saat Persib Bandung dan PSMS Medan lolos secara beruntun ke final Perserikatan 1983 dan 1985.