Dana sebesar itu digunakan untuk membayar uang pensiun, asuransi kesehatan, tunjangan bagi penganggur, serta fasilitas sosial lainnya. Sebagai gambaran, APBN Yunani pada 2014 hanya EUR 82,92 miliar atau sekitar Rp 1.280 triliun. Karena itu, para kreditor dari Uni Eropa maupun IMF terus mendesak Yunani agar memperketat belanja sosial dan kesehatannya.
Namun, itu tidak begitu saja dilakukan. Buktinya, saat referendum pada awal Juli lalu, 61 persen rakyat Yunani memilih NO. Alias, menolak syarat pengetatan ikat pinggang yang diajukan kreditor Uni Eropa. Itu adalah syarat untuk pengucuran dana bailout EUR 86 miliar atau sekitar Rp 1.333 triliun guna menambah modal perbankan dan membayar utang-utang Yunani yang jatuh tempo.
’’Orang Yunani memang terbiasa manja. Itulah yang membuat krisis tak selesai-selesai,’’ kata Hendrik Yuana, TKI asal Tulungagung yang sejak 2004 bekerja di Yunani.
Pria 39 tahun yang sekarang bekerja sebagai tukang kebun di rumah salah seorang bos kapal tanker di Athena itu mengatakan, dirinya sudah pindah tempat kerja beberapa kali. Dia menceritakan, bahkan sejak krisis mulai membelit pada 2009, orang-orang Yunani tetap tak bisa hidup tanpa pembantu. Demikian pula saat mereka di-PHK atau hanya mengandalkan uang tunjangan dari pemerintah.
’’Banyak yang kerjanya hanya nongkrong-nongkrong di bar atau kafe,’’ tuturnya.
Duta Besar Indonesia untuk Yunani Benny Bahanadewa mengatakan, krisis Yunani memang jauh lebih pelik daripada sekadar urusan defisit anggran dan utang jatuh tempo. Sebab, strukur perekonomian Yunani memang sakit sejak lama, dan kini tinggal mengandalkan pariwisata sebagai mesin utama.
’’Kalau musim panas seperti ini (Juni hingga September, Red) seperti tidak ada krisis saja di Yunani. Semua tempat penuh sesak oleh turis. Tapi, kalau musim turis lewat, ekonomi akan meredup lagi,’’ ujarnya.
Selain itu, stabilitas politik yang menjadi kunci recovery ekonomi menjadi barang langka di Yunani. Menurut Benny, sejak ribuan tahun sebelum Masehi, Yunani memang selalu diwarnai pergolakan antar kerajaan.
Waktu ribuan tahun, rupanya, tak mampu meluruhkan sifat keras dan tak mau mengalah itu. Akibatnya, pergolakan politik pun terus terjadi. Kali ini antar kekuatan partai politik.