Awalnya Diragukan, Kini Tampung 57 Siswa

[tie_list type=”minus”]Kegigihan Miftahul Khoiriah, Penyandang Disabilitas yang Mendirikan SMP Gratis[/tie_list]

Idenya berawal dari berbagai penolakan saat melamar menjadi pengajar karena keterbatasan fisik. Miftahul Khoiriah bercita-cita mendirikan pondok pesantren yang kelak juga digratiskan.

FARISMA ROMAWAN, Mojokerto

Miftahul Khoiriah
F- SOFAN KURNIAWAN/JAWA POS RADAR MOJOKERTO
PEJUANG PENDIDIKAN: Miftahul Khoiriah di salah satu ruang kelas sekolah
yang didirikannya kemarin. Selain mengajar matematika, dia mengaji di TPQ

MIFTAHUL Khoiriah mengaku tak begitu mengingatnya lagi. Tapi, suaminya, Djit Hendra, masih merekam dengan baik kesangsian seorang pamong desa terhadap kemampuan sang istri untuk mengajar. ’’Sampean iso ta dadi guru (Anda benar bisa mengajar, Red)?’’ ujar Hendra menirukan ucapan si pamong desa.

Ketika itu, sekitar dua tahun lalu, Hendra tengah membantu Miftah, sapaan akrab Miftahul Khoiriah, mengurus perizinan dari desa. Berangkat dari ide Miftah, mereka bermaksud mendirikan sekolah setingkat SMP.

Sekolah di kampung mereka di Desa Beloh, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, tersebut hendak didedikasikan kepada anak-anak yatim dan keluarga tidak mampu. Jadi, semuanya gratis.

Tapi, baru di tahap paling awal, perizinan dari desa, keraguan datang. Meski tak sampai terucap, Miftah sudah membaca gelagat bahwa kesangsian si pamong itu bersumber dari kondisi fisiknya.

Sarjana matematika tersebut memang seorang penyandang disabilitas atau difabel. Satu kakinya tak utuh pascaamputasi akibat kecelakaan semasa SMA dulu. Sehari-hari dia berjalan dengan bantuan kaki palsu yang didapatkan dari Sugeng, maestro pembuat kaki imitasi dari Mojosari, Mojokerto.

Kondisi fisik itu pula yang membuat Miftah kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan setelah lulus dari Universitas Wisnuwardhana Malang pada 2010. Banyak yang menganggap, dengan keterbatasannya, dia bakal kesulitan untuk menjalankan tugas sebagai pengajar.

Padahal, menjadi pendidik adalah impian Miftah. Dia sekaligus ingin membuktikan, keterbatasan fisiknya sama sekali bukan penghalang. Jadilah, selama sekitar tiga tahun, 2010–2013, Miftah memilih membagi ilmu dengan memberi les. ’’Penolakan demi penolakan itulah yang melahirkan ide membuat sekolah sendiri,’’ kata ibu satu anak tersebut saat ditemui Jawa Pos Radar Mojokerto (Group Bandung Ekspres) di rumahnya kemarin sore (20/9).

Tinggalkan Balasan