JAKARTA – Bank Indonesia mencatat utang luar negeri (ULN) pada Juli 2015 mencapai USD 303,67 miliar atau tumbuh 3,7 persen.
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Statistik BI Hendy Sulistyowati mengungkapkan bahwa pertumbuhan tersebut lebih lambat bila dibandingkan dengan pertumbuhan Juni 2015 yang mencatat 6,3 persen.
Dengan pertumbuhan tersebut, posisi ULN Indonesia pada akhir Juli 2015 tercatat sebesar USD 303,7 miliar. Perinciannya, ULN di sektor publik sebesar USD 134,5 miliar (44,3 persen dari total ULN) dan ULN di sektor swasta USD 169,2 miliar (55,7 persen dari total ULN).
”ULN swasta lebih besar daripada ULN pemerintah karena swasta banyak perannya bagi pembangunan. Dari sisi pertumbuhannya semua melambat, terutama ULN swasta,” ujarnya di Jakarta kemarin (18/9).
Hendy mengungkapkan bahwa perlambatan pertumbuhan ULN tersebut dipengaruhi perlambatan pertumbuhan ULN publik maupun swasta. Perlambatan tersebut dari 2,2 persen (yoy) menjadi 0,3 persen (yoy) untuk publik. Lalu, 9,7 persen (yoy) menjadi 6,7 persen (yoy) untuk swasta.
”Dari sisi instrumen, penurunan disebabkan turunnya pinjaman LN (loan agreement, Red) baik sektor publik maupun swasta, turunnya utang dagang, dan kepemilikan nonresiden atas surat utang sektor swasta,” urainya.
Sementara itu, kepemilikan nonresiden atas surat utang sektor publik masih meningkat karena ditopang adanya penerbitan Eurobond sebesar USD 1,3 miliar.
ULN swasta pada akhir Juli 2015 terutama terkonsentrasi di sektor keuangan, industri pengolahan, pertambangan, serta listrik, gas, dan air bersih. Pangsa ULN keempat sektor tersebut terhadap total ULN swasta mencapai 76,1 persen.
Pertumbuhan tahunan ULN sektor keuangan, sektor industri pengolahan, dan sektor listrik, gas, dan air bersih tercatat melambat bila dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya.
Di sisi lain, pertumbuhan tahunan ULN sektor pertambangan masih mengalami kontraksi meski tidak sedalam kontraksi yang terjadi pada bulan sebelumnya. ”Perkembangan ULN Juli 2015 masih cukup sehat, namun perlu terus diwaspadai risikonya terhadap perekonomian,” urainya. (dee/c10/tia/rie)