Berbagai pengalaman tidak menyenangkan itulah yang mungkin membuat O dan Z tak mau meneruskan tradisi nama tak lazim ke keturunan mereka. Empat anak O dan lima buah hati Z punya nama-nama ’’normal’’, minimal dua kata.
Nah, N mengaku tak pernah mengalami berbagai pengalaman buruk seperti O dan Z itu. Namanya yang singkat juga tak sekali pun membuatnya canggung atau minder.
Kesulitan yang dia alami juga tak sebesar yang dihadapi sang adik, si tanda baca tadi. Kalau adiknya butuh penjelasan empat sampai lima kali tiap kali mendaftar, dia cukup… yaaa… tiga kali lah.
’’Saya bangga dengan nama pemberian orang tua ini,’’ kata N.
N boleh bangga, tapi tidak demikian halnya dengan adiknya yang lahir pada 19 Oktober 2000 itu. Ali mengakui, si bungsu sering memprotes mengapa dirinya dinamai tanda baca. Keluhannya baru berakhir setelah dia ’’berganti’’ nama menjadi Titik.
Berganti harus diberi tanda kutip karena sejatinya yang terjadi adalah kecelakaan. Saat ujian SD, nama si tanda baca adik si satu huruf itu tak terbaca oleh komputer. Simsalabim, jadilah dia terlahir kembali dengan nama ’’Titik’’.
Barulah setelah itu si tanda baca yang kini mondok sembari sekolah tersebut tenang. Begitu pula si bapak. Waktunya kini sepenuhnya bisa dihabiskan untuk menggarap mebel ketimbang eyel-eyelan dengan petugas administrasi pendaftaran. (*/JPG/c5/ttg/hen)